Sabtu, 26 April 2014

Makalah Manajemen Berbasis Sekolah



BAB I
PENDAHULUAN
        A.    LATAR BELAKANG
Fakta yang sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan Negara-negara lain di dunia. Hal ini mempunyai dampak yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam  segala aspek bidang kehidupan.
Untuk menciptakan masyarakat yang maju maka yang perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah bagaiman mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan. Terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas.
Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa MBS merupakan pemikiran kea rah pengelolaan pendidikan yang  memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Dengan demikian mahasiswa calon guru SD semestinya dapat memahami penerapan MBS sebagai bekal ketika berada di sekolah nantinya.

        B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apakah pengertian dari Manajemen Berbasis Sekolah
2.      Bagaimanakah sejarah munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
3.      Apakah implikasi Manajemen Berbasis Sekolah terhadap pembelajaran?
4.      Apa peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah?

       C.     TUJUAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Manajemen Berbasis Sekolah
2.      Untuk memahami sejarah munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
3.      Untuk mengetahui implikasi Manajemen Berbasis Sekolah terhadap pembelajaran
4.      Untuk memahami peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah





BAB II
PEMBAHASAN
        A.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Secara bahasa, Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah[1]. Manajemen adalah pengkoordinasian dalam  penggunaan  sumberdaya secara efektif untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program.
Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau suatu lembaga pendidikan dimana disana terjadi proses belajar mengajar serta tempat menerima dan memberikan pembelajaran.
Istilah manajemen berbasis sekolah juga merupakan terjemahan dari “school based management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. Manajemen berbasis sekolah itu sendiri adalah suatu model pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan dan otonomi lebih luas kepada kepala sekolah bersama guru, orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan pembelajaran yang kreatif, aktif, menyenangkan dan memperoleh dukungan partisipasi masyarakat secara optimal.
MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi deberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut[2]:
1.      Kebijaksaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru.
2.      Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
3.      Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.
4.      Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencaan (Fattah, 2000).

MBS, yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.
Dalam pelaksanaanya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksaan MBS di negara lain, kemudian memodifikasi, merumuskan, dan menyusun model dengan mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini.





       B.     Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah

              1.      Manajemen Berbasis Sekolah di Negara-negara maju
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negara bagian di Australia, dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia. 
Munculnya MBS tidak terlepas dari upaya-upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di suatu negara. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi yang telah dilakukan, misalnya pengenalan kurikulum baru, pendekatan baru dan metode baru dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses, maka para pakar pendidikan pun percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu ada lompatan pemikiran dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Lompatan pemikiran yang dimaksud tersebut adalah perubahan dalam struktur dan gaya manajemen sekolah dengan mengadopsi aplikasi manajemen modern.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl), ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self budgeting school) yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada juga pengembangan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum development), pengembangan staf berbasis sekolah (school based staff develovment) serta bimbingan siswa berbasis sekolah (scholl based student counseling). Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda itu kemudian melahirkan satu konsep dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah.
Lahirnya MBS di suatu Negara tetap berdasarkan dengan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di Hongkong misalnya kemunculan MBS dilatar belakangi kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan sistem pendidikan. MBS di sebut dengan the School Management Initiative. Di Kanada kemunculan MBS menggunakan istilah School Site Decision Making, yang didasari dengan adanya kelemahan dari pendekatan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan yang nyata maka perlu dilembagakan yaitu dalam bentuk MBS. 
Di Amerika Serikat kemunculan MBS disebabkan masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di negeri paman sam itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang dibutuhkan oleh siswa untuk terjun ke dunia kerja. Setelah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah perstasi siswa untuk beberapa mata pelajaran tidak memuaskan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka langkah yang ditempuh adalah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu dapat dipahami bahwa penerapan MBS di Amerika terjadi setelah masyarakat dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan di masa depan.
Lahirnya MBS di Inggris berawal dari inisiatif reformasi pendidikan yang kemudian diakomodir dalam undang-undang pendidikan (education art) antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional serta pelaporan nasional. Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah. Selain itu juga memberikan pilihan kepada orang tua dengan cara meningktkan diversifikasi dan meningktkan akses terhadap sekolah. Sementara itu bantuan dana pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada sekolah-sekolah. Dengan dasar inilah sehingga di inggris MBS dikenal dengan istilah grant maintained school (GMS). Atau manajemen swakelola pada tingkat lokal. 
Reformasi bidang pendidikan seperti ini juga terjadi di Negara-negara maju lainnya seperti Australia, Francis, New Zeland dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa meskipun konsep dan motif penerapan MBS di berbagai Negara mempunyai perbedaan, akan tetapi rata-rata dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu : 
a.       Terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan mengesampingkan bawahan
b.      Kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun.
c.       Adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk merekunstrukturisasi pengeloalaan pendidikan.
d.      Untuk melibatkan semua warga sekolah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan tujuan sekolah.
              2.      Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Di Indonesia latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-Negara maju yang lebih dulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok hanya lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Negara maju sudah banyak mengadakan reformasi pendidikan pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, sementara Indonesia reformasi pendidikan tersebut terjadi 30 tahun kemudian. 
Di Indonesia munculnya gagasan MBS sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Pengelolaan pendidikan di Indonesia selama ini sangat bersifat sentralistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan keputusan, sebaliknya daerah dan sekolah bersifat fasif hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik itu sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan ril sekolah dengan perintah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat. Sistem sentralistik dinilai kurang bisa memberikan pelayanan yang efektif dan tidak mampu menjamin kesinambungan kegiatan lokal. Oleh karena itu perlu adanya formula baru dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Formula baru itu memungkinkan sekolah memiliki otonomi yang seluas-luasnya, yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal. Dengan dasar inilah muncul penerapan MBS di Indonesia.
Penerapan MBS di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004. Konsep MBS ini kemudian tertuang dengan jelas dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 Yaitu :
1)      Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
2)      Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan antara lain, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemampaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mencipatakan transparansi dan demokrasi yang sehat. MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh Karena itu MBS di Indonesia merupakan pola baru dalam di dunia pendidikan yang diharapkan dapat memberikan angin segar terhadap peningkatan mutu pendidikan. 

        C.     Implikasi Manajemen Berbasis Sekolah Terhadap Pembelajaran

Dalam implikasinya, MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat.
MBS lebih menekankan ke arah pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Melalui MBS diharapkan siswa akan merasakan adanya iklim belajar yang demokratis. Siswa diberi kesempatan untuk berpendapat dan berbeda pandangan, tidak harus selalu menerima apa yang diberikan oleh guru tanpa adanya kritisi terlebih dahulu. Kegiatan belajar mengajar tidak hanya dilakukan di dalam ruangan kelas, tetapi bisa juga dilakukan di luar ruangan kelas. Guru harus bisa menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk lebih kreatif, karena dalam memecahkan masalah anak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut anak untuk mandiri dalam memecahkan masalah tersebut. Belajar kreatif tidak hanya menyangkut perkembangan kognitif saja, melainkan juga menyangkut perkembangan perkembangan afektif dan psikomotor. Tugas guru hanya sebagai fasilitator untuk membantu anak memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, dan menuntun anak agar anak kreatif. Karenanya, dalam pembelajarannya harus menciptakan suasana yang mendukung partisipasi penuh dari siswa, sehingga siswa memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang mampu menemukan konsep-konsep yang dipelajari.
Implementasi MBS mengharuskan pemberian keleluasaan yang penuh pada guru untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menimbulkan rasa ingin tahu bagi anak, dan anak betah tinggal di sekolah. Kondisi saat anak berteriak kegirangan ketika jam istirahat atau jam pulang sekolah merupakan indikasi bahwa pembelajaran di sekolah belum dirancang dalam suasana yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan merangsang anak untuk berpikir kritis, analisis dan mendorong orang tua serta masyarakat untuk lebih jauh memikirkan pendidikan bagi anak-anaknya. Pembelajaran yang menyenangkan juga memungkinkan anak jauh dari hukuman, sebab hukuman hanya akan membuat anak malu dan merasa dendam. MBS dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan akan membantu anak memahami diri pribadinya. Dimana ia duduk, dia memahami perbedaan diantara persamaan dan persamaan diantara perbedaan.

        D.    Peranan Profesionalisme Guru Dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar[3]. Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang profesional adalah guru yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi. Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik secara aktif dilibatkan dalam memecahkan masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya dalam merencanakan pembelajaran, baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang desain sekolah, kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam proses penilaian.
Kompetensi profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, terdiri dari 3 (tiga) yaitu ; kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional mengajar. Keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh ketiganya dengan penekanan pada kemampuan mengajar.
Pendidik dalam artian guru dalam membantu menyukseskan manajemen berbasis sekolah perlu meningkatkan diri dan mengembangkan potensi profesionalitas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan profesional, pemerintah telah melahirkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen. Salah satu upaya dari undang-undang tersebut adalah meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru.  Seperti yang kita ketahui jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat modern saat ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang  dibandingkan profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya untuk meningkatkan kualitas guru dengan kualifikasi sekurang-kurangnnya ijazah S-1.
Prinsip-prinsip profesionalisme guru (berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari 9 poin sebagai berikut:
1.      Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme,
2.      Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia,
3.      Memiliki kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
4.      Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya,
5.      Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
6.      Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
7.      Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
8.      Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
9.      Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.
Berdasarkan hal di atas, seorang guru harus benar-benar memahami dalam hal menjalankan profesinya sehingga seorang guru mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat terhadap profesi yang dijalankannya dan dapat mengoptimalkan pendidikan dalam manajemen berbasis sekolah. Selain hal di atas, seorang guru dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik, perlu juga dilakukan melalui pengembangan konsep kesejawatan yang harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan adanya sinergi dengan sebuah wadah organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk dan mekanisme kegiatan yang jelas, serta standar profesi yang dapat diterapkan secara praktis. Pidarta, mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik adalah sebagai berikut[4]:
1.      Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
2.      Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.
3.      Berdiskusi tentang substansi materi pembelajaran.
4.      Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.
5.      Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawatdi kelas.
6.      Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
7.      Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
8.      Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui kegiatan ilmiah.
9.      Melakukan penelitian.
10.  Menulis artikel.
11.  Meneyusun laporan penelitian.
12.  Menyusun makalah.
13.   Menyusun laporan atau review buku.
Guru dalam manajemen berbasis sekolah berfungsi untuk meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar disekolah melalui kegiatan pemecahan masalah, melakukan uji coba dan mengembangkan ide-ide baru proses pembelajaran, serta kegiatan lain yang menunjang kemajuan pendidikan disekolah.










BAB III
KESIMPULAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara umum adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Hamzah B. Uno. 2011. Profesi Kependidikan, Jakarta : Bumi Aksara
Mulyasa, E. 2009. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.



[1] Nurkholis, M.M. Drs, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta, PT. Grasindo, halaman 1
[2] Fitrina Dewi, “Manajemen Berbasis Sekolah”, diakses dari http://fitrinadewi.blogspot.com/2012/04/pengertian-manajemen-berbasis-kurikulum.html, pada tanggal 21 April 2012 pukul 21:00
[3] H. Hamzah B.Uno, M.Pd. Prof.Dr, “profesi kependidikan”, Jakarta, Bumi Aksara, Halaman 18

[4]  Beny pradnyana ,” peranan profesionalisme guru dalam manajemen berbasis sekolah” diakses dari http://beny-pradnyana.blogspot.com/2012/01/peranan-profesionalisme-guru-dalam.html pada tanggal 5 januari 2012 pada pukul 23:50