BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Fakta
yang sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah
jika dibandingkan dengan Negara-negara lain di dunia. Hal ini mempunyai dampak
yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam segala
aspek bidang kehidupan.
Untuk
menciptakan masyarakat yang maju maka yang perlu diperhatikan terlebih dahulu
adalah bagaiman mewujudkan pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai
tujuan. Terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas.
Salah
satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah atau MBS. Hal ini didasarkan pada suatu
asumsi bahwa MBS merupakan pemikiran kea rah pengelolaan pendidikan yang memberi
keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan
secara luas. Dengan demikian mahasiswa calon guru SD semestinya dapat memahami
penerapan MBS sebagai bekal ketika berada di sekolah nantinya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
:
1.
Apakah pengertian dari Manajemen Berbasis
Sekolah
2.
Bagaimanakah sejarah munculnya Manajemen
Berbasis Sekolah
3.
Apakah implikasi Manajemen Berbasis
Sekolah terhadap pembelajaran?
4.
Apa
peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis Sekolah?
C.
TUJUAN
Berdasarkan latar belakang
dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Manajemen
Berbasis Sekolah
2.
Untuk memahami sejarah munculnya Manajemen
Berbasis Sekolah
3.
Untuk mengetahui implikasi Manajemen Berbasis
Sekolah terhadap pembelajaran
4.
Untuk memahami peranan profesionalisme guru dalam Manajemen Berbasis
Sekolah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah
Secara bahasa, Istilah
manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen,
berbasis, dan sekolah[1].
Manajemen adalah pengkoordinasian dalam penggunaan sumberdaya
secara efektif untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya
selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen
terdiri dari tugas, rencana, program.
Berbasis berarti
"berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah
suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) atau suatu lembaga pendidikan dimana disana terjadi proses belajar
mengajar serta tempat menerima dan memberikan pembelajaran.
Istilah
manajemen berbasis sekolah juga merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. Manajemen berbasis sekolah itu sendiri adalah
suatu model pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan dan otonomi lebih
luas kepada kepala sekolah bersama guru, orang tua dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan pembelajaran yang kreatif,
aktif, menyenangkan dan memperoleh dukungan partisipasi masyarakat secara
optimal.
MBS
merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat
sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi deberikan agar
sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya
sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan
setempat. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali,
mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan
pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah.
Kewenangan
yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki
tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut[2]:
1. Kebijaksaan
dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang
tua dan guru.
2. Bertujuan
bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
3. Efektif
dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah.
4. Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencaan (Fattah, 2000).
MBS,
yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons
pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain
diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara
lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan
sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah.
Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi
masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok
tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa
kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.
Dalam
pelaksanaanya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus meniru
secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia akan
belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksaan MBS di negara lain,
kemudian memodifikasi, merumuskan, dan menyusun model dengan mempertimbangkan
berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur masyarakat, dan
pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan yang telah dan
sedang berlangsung selama ini.
B.
Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
1.
Manajemen Berbasis Sekolah di Negara-negara
maju
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa
negara bagian di Australia, dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali
pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian
diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea,
Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an
telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat
ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya
di seluruh dunia.
Munculnya MBS tidak terlepas dari upaya-upaya
untuk memperbaiki mutu pendidikan di suatu negara. Sejak tahun 60-an dan 70-an
banyak sekali inovasi yang telah dilakukan, misalnya pengenalan kurikulum baru,
pendekatan baru dan metode baru dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya
kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi perkembangan manajemen
dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses, maka para pakar
pendidikan pun percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu ada
lompatan pemikiran dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke
lingkup organisasi sekolah. Lompatan pemikiran yang dimaksud tersebut adalah
perubahan dalam struktur dan gaya manajemen sekolah dengan mengadopsi aplikasi
manajemen modern.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl), ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self budgeting school) yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada juga pengembangan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum development), pengembangan staf berbasis sekolah (school based staff develovment) serta bimbingan siswa berbasis sekolah (scholl based student counseling). Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda itu kemudian melahirkan satu konsep dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah.
Lahirnya MBS di suatu Negara tetap berdasarkan dengan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di Hongkong misalnya kemunculan MBS dilatar belakangi kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan sistem pendidikan. MBS di sebut dengan the School Management Initiative. Di Kanada kemunculan MBS menggunakan istilah School Site Decision Making, yang didasari dengan adanya kelemahan dari pendekatan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan yang nyata maka perlu dilembagakan yaitu dalam bentuk MBS.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl), ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self budgeting school) yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada juga pengembangan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum development), pengembangan staf berbasis sekolah (school based staff develovment) serta bimbingan siswa berbasis sekolah (scholl based student counseling). Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda itu kemudian melahirkan satu konsep dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah.
Lahirnya MBS di suatu Negara tetap berdasarkan dengan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di Hongkong misalnya kemunculan MBS dilatar belakangi kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan sistem pendidikan. MBS di sebut dengan the School Management Initiative. Di Kanada kemunculan MBS menggunakan istilah School Site Decision Making, yang didasari dengan adanya kelemahan dari pendekatan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan yang nyata maka perlu dilembagakan yaitu dalam bentuk MBS.
Di Amerika Serikat kemunculan MBS disebabkan
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di negeri paman
sam itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang dibutuhkan oleh siswa untuk
terjun ke dunia kerja. Setelah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal
dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah
perstasi siswa untuk beberapa mata pelajaran tidak memuaskan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut maka langkah yang ditempuh adalah menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal
itu dapat dipahami bahwa penerapan MBS di Amerika terjadi setelah masyarakat
dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan di masa depan.
Lahirnya MBS di Inggris berawal dari
inisiatif reformasi pendidikan yang kemudian diakomodir dalam undang-undang
pendidikan (education art) antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional,
adanya ujian nasional serta pelaporan nasional. Kontrol terhadap anggaran
sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala
sekolah. Selain itu juga memberikan pilihan kepada orang tua dengan cara
meningktkan diversifikasi dan meningktkan akses terhadap sekolah. Sementara itu
bantuan dana pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada
sekolah-sekolah. Dengan dasar inilah sehingga di inggris MBS dikenal dengan
istilah grant maintained school (GMS). Atau manajemen swakelola pada tingkat
lokal.
Reformasi bidang pendidikan seperti ini juga
terjadi di Negara-negara maju lainnya seperti Australia, Francis, New Zeland
dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa meskipun
konsep dan motif penerapan MBS di berbagai Negara mempunyai perbedaan, akan tetapi
rata-rata dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu :
a.
Terjadinya
ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan
mengesampingkan bawahan
b.
Kinerja
pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun.
c.
Adanya
kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk
merekunstrukturisasi pengeloalaan pendidikan.
d.
Untuk
melibatkan semua warga sekolah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan tujuan
sekolah.
2.
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Di Indonesia latar belakang munculnya MBS
tidak jauh berbeda dengan Negara-Negara maju yang lebih dulu menerapkannya.
Perbedaan yang mencolok hanya lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan
pendidikan di Indonesia. Negara maju sudah banyak mengadakan reformasi pendidikan
pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, sementara Indonesia reformasi
pendidikan tersebut terjadi 30 tahun kemudian.
Di Indonesia munculnya gagasan MBS sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian
sekolah. Pengelolaan pendidikan di Indonesia selama ini sangat bersifat
sentralistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan keputusan,
sebaliknya daerah dan sekolah bersifat fasif hanya sebagai penerima dan
pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik itu sering mengakibatkan
adanya kesenjangan antara kebutuhan ril sekolah dengan perintah dengan perintah
atau apa yang digariskan oleh pusat. Sistem sentralistik dinilai kurang bisa
memberikan pelayanan yang efektif dan tidak mampu menjamin kesinambungan kegiatan
lokal. Oleh karena itu perlu adanya formula baru dalam pengelolaan pendidikan
di Indonesia. Formula baru itu memungkinkan sekolah memiliki otonomi yang
seluas-luasnya, yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal. Dengan
dasar inilah muncul penerapan MBS di Indonesia.
Penerapan MBS di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004. Konsep MBS ini kemudian tertuang dengan jelas dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 Yaitu :
Penerapan MBS di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004. Konsep MBS ini kemudian tertuang dengan jelas dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 Yaitu :
1)
Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
2)
Pengelolaan
satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan antara lain, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemampaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mencipatakan transparansi dan demokrasi yang sehat. MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh Karena itu MBS di Indonesia merupakan pola baru dalam di dunia pendidikan yang diharapkan dapat memberikan angin segar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan antara lain, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemampaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mencipatakan transparansi dan demokrasi yang sehat. MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh Karena itu MBS di Indonesia merupakan pola baru dalam di dunia pendidikan yang diharapkan dapat memberikan angin segar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
C.
Implikasi Manajemen Berbasis Sekolah
Terhadap Pembelajaran
Dalam
implikasinya, MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas
agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan
otoritas daerah setempat.
MBS
lebih menekankan ke arah pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan. Melalui MBS diharapkan siswa akan merasakan adanya iklim belajar
yang demokratis. Siswa diberi kesempatan untuk berpendapat dan berbeda
pandangan, tidak harus selalu menerima apa yang diberikan oleh guru tanpa
adanya kritisi terlebih dahulu. Kegiatan belajar mengajar tidak hanya dilakukan
di dalam ruangan kelas, tetapi bisa juga dilakukan di luar ruangan kelas. Guru
harus bisa menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk lebih kreatif,
karena dalam memecahkan masalah anak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan
yang menuntut anak untuk mandiri dalam memecahkan masalah tersebut. Belajar
kreatif tidak hanya menyangkut perkembangan kognitif saja, melainkan juga
menyangkut perkembangan perkembangan afektif dan psikomotor. Tugas guru hanya
sebagai fasilitator untuk membantu anak memaksimalkan kemampuan yang dimiliki,
dan menuntun anak agar anak kreatif. Karenanya, dalam pembelajarannya harus
menciptakan suasana yang mendukung partisipasi penuh dari siswa, sehingga siswa
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang mampu menemukan
konsep-konsep yang dipelajari.
Implementasi
MBS mengharuskan pemberian keleluasaan yang penuh pada guru untuk dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang menimbulkan rasa ingin tahu bagi anak,
dan anak betah tinggal di sekolah. Kondisi saat anak berteriak kegirangan
ketika jam istirahat atau jam pulang sekolah merupakan indikasi bahwa
pembelajaran di sekolah belum dirancang dalam suasana yang menyenangkan.
Pembelajaran yang menyenangkan akan merangsang anak untuk berpikir kritis,
analisis dan mendorong orang tua serta masyarakat untuk lebih jauh memikirkan
pendidikan bagi anak-anaknya. Pembelajaran yang menyenangkan juga memungkinkan
anak jauh dari hukuman, sebab hukuman hanya akan membuat anak malu dan merasa
dendam. MBS dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan akan
membantu anak memahami diri pribadinya. Dimana ia duduk, dia memahami perbedaan
diantara persamaan dan persamaan diantara perbedaan.
D.
Peranan
Profesionalisme Guru Dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Kompetensi
profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah
berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran,
kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar[3].
Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional
akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara
mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi
guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang profesional adalah guru
yang kompeten (berkemampuan). Karena itu, kompetensi profesionalisme guru dapat
diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi
keguruannya dengan kemampuan tinggi. Profesionalisme seorang guru merupakan
suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman
tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya
belajar. Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi
profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan
cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Dalam
suasana seperti itu, peserta didik secara aktif dilibatkan dalam memecahkan
masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan
mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang
lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya
dalam merencanakan pembelajaran, baik individual maupun tim, membuat keputusan
tentang desain sekolah, kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan
partisipasi dalam proses penilaian.
Kompetensi
profesional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil.
Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, terdiri dari 3 (tiga)
yaitu ; kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional
mengajar. Keberhasilan guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh
ketiganya dengan penekanan pada kemampuan mengajar.
Pendidik dalam artian guru dalam membantu
menyukseskan manajemen berbasis sekolah perlu meningkatkan diri dan
mengembangkan potensi profesionalitas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk
meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan profesional, pemerintah
telah melahirkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen. Salah
satu upaya dari undang-undang tersebut adalah meningkatkan profesionalisme guru
serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru. Seperti yang kita ketahui
jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat modern
saat ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat
kurang dibandingkan profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun
2005 telah menggariskan upaya untuk meningkatkan kualitas guru dengan
kualifikasi sekurang-kurangnnya ijazah S-1.
Prinsip-prinsip profesionalisme guru
(berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari 9 poin sebagai berikut:
1.
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan
idealisme,
2.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia,
3.
Memiliki kualifikasi akademik dan
latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
4.
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai
dengan bidang tugasnya,
5.
Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan
tugas keprofesionalan,
6.
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai
dengan prestasi kerja,
7.
Memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
8.
Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan,
9.
Memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.
Berdasarkan hal di atas, seorang guru harus benar-benar
memahami dalam hal menjalankan profesinya sehingga seorang guru mendapatkan
pengakuan yang baik oleh masyarakat terhadap profesi yang dijalankannya dan
dapat mengoptimalkan pendidikan dalam manajemen berbasis sekolah. Selain hal di
atas, seorang guru dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tenaga
pendidik, perlu juga dilakukan melalui pengembangan konsep kesejawatan yang
harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan adanya sinergi dengan sebuah wadah
organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk dan mekanisme kegiatan
yang jelas, serta standar profesi yang dapat diterapkan secara praktis.
Pidarta, mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
profesionalisme tenaga pendidik adalah sebagai berikut[4]:
1.
Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses
pembelajaran.
2.
Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.
3.
Berdiskusi tentang substansi materi pembelajaran.
4.
Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar
termasuk evaluasi pengajaran.
5.
Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawatdi kelas.
6.
Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
7.
Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
8.
Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui
kegiatan ilmiah.
9.
Melakukan penelitian.
10. Menulis artikel.
11. Meneyusun laporan
penelitian.
12. Menyusun makalah.
13. Menyusun laporan atau review buku.
Guru
dalam manajemen berbasis sekolah berfungsi untuk meningkatkan mutu kegiatan
belajar mengajar disekolah melalui kegiatan pemecahan masalah, melakukan uji
coba dan mengembangkan ide-ide baru proses pembelajaran, serta kegiatan lain
yang menunjang kemajuan pendidikan disekolah.
BAB III
KESIMPULAN
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumberdaya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam
proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah
atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah secara umum adalah untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah,
pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola
sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B. Uno. 2011. Profesi Kependidikan,
Jakarta : Bumi Aksara
Mulyasa, E. 2009. Manajemen Berbasis
Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2006. Manajemen Berbasis
Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
[1]
Nurkholis, M.M. Drs, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta, PT. Grasindo, halaman
1
[2]
Fitrina Dewi, “Manajemen Berbasis Sekolah”, diakses dari http://fitrinadewi.blogspot.com/2012/04/pengertian-manajemen-berbasis-kurikulum.html,
pada tanggal 21 April 2012 pukul 21:00
[3]
H. Hamzah B.Uno, M.Pd. Prof.Dr, “profesi kependidikan”, Jakarta, Bumi Aksara,
Halaman 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar