IJMA’
A.
PENGERTIAN IJMA’
Definisi dari ijma menurut Drs. Nazar Bakry adalah Ijma’
menurut syara’ adalah suatu kesepakatan bagi orang-orang yang susah payah dalam
menggali hukum agama (mujtahid) di antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau
meninggal dalam suatu masa yang tidak ditentukan atau suatu urusan (masalah) di
antara masalah-masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam kitab
dan sunnah).1
Sedangkan menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya
adalah ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim
memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syr’i, pada
suatu peristiwa.2
Sedangkan dalam buku karangan Syaikh Muhammad Al-Khudhari
Biek menerangkan bahwa ijma’ ialah suatu produk hukum atas hasil kesepakatan
para mujtahidin dari suatu umat dalam suatu masa.
Pada sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara
bahasa adalah niat yang kuat dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah
kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
salam terhadap suatu hukum syar’i.
Pada
referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a
(أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1) Tekad yang kuat (العَزْمُ
المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ (sifulan
bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2) Kesepakatan
(الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin
bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat
dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula".
(lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1) Kesepakatan
(الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau
dengan sikap.
2) Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ).
Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk
mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga
yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal
dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang
dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya
Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut
ijma'.
5) Didalam satu masa
tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada
perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang
bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh
Minhaj: 2/349).
B.
SENDI-SENDI IJMA’
Sendi-sendi ijma’ menurut definisi di atas menunjukkan
bahwa ia hasil kodifikasi pendapat mujtahid satu dengan pendapat mujtahid yang
lainnya yang sesuai. Maka dari itu dapat dipahami bahwa sendi ijma’ yang
menjadi syarat terbentuknya ijma’ ada empat, yaitu:
1. Bahwa jarangnya penentang pendapat mempengaruhi terwujudnya ijma’, karena
pengertian kesepakatan belum terwujud, hanya saja banyak ahli hukum berhujjah
dengan pendapat mayoritas jika jarang terdapat penentang mereka.
2. Bahwa andaikata tidak terdapat dalam suatu masa kecuali seorang mujtahid
yang mempunyai pendapat dalam suatu perkara, tidaklah pendapat itu dianggap
ijma’, karena kesepakatan tidak terwujud pengertiannya dan juga bukan merupakan
hujjah, karena bilamana tidak ada sifat ijma’ darinya, ia pun menjadi pendapat
tunggal dari mujtahid dan kemungkinan terjadi kesalahan, maka perkataannya
bukanlah hujjah.
3. Pendapat itu haruslah satu dan menjadi kesepakatan. Maka, andaikata umat
suatu masa terpecah menjadi dua pihak, yang satu mengemukakan satu pendapat dan
yang kedua mempunyai pendapat lain dalam suatu hukum, apakah ini dianggap ijma
dari mereka. Sedangkan dalam masa itu hanya ada salah satu dari kedua pendapat
ini sehingga tidak boleh bagi orang sesudah mereka untuk mengemukakan pendapat
ketiga ataukah ia tidak dianggap ijma’? sebagian besar ulama tidak boleh
mengemukakan pendapat ketiga dan sebagian kecil mengatakan boleh.
4. Semestinya tampak kesepakatan dengan mengemukakan pendapat sehingga
diketahui dan nyata bahwa ia adalah kesepakatan. Adapun bila didiamkan dengan
cara sebagian mujtahid memberikan fatwa dengan suatu hukum atas suatu masalah
atau memutuskan hukum suatu perkara atas dirinya sendiri sementara mujtahid
lainnya berdiam diri dan tidak menyangkalnya, maka hal ini dikategorikan ijma’
atau tidak? Apabila hal tersebut terjadi, maka hal itu dinamakan ijma’ sukuti.
C.
SYARAT- SYARAT IJMA’
Ijma’ memiliki syarat-syarat diantaranya:
1. Tetap melalui jalan yang sholih yang artinya dengan kemahsyurannya
dikalangan ulama atau orang yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan
luas pengetahuannya.
2. Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya. Artinya jika
didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak bataldengan
kematian yang mengucapkannya maka ijma’ tidak bisa membatalkan khilaf yang ada
sebelumnya, akan tetapi ijma’ bisa mencegah terjadinya khilaf.
D.
SANDARAN IJMA’
Ijma’ tidaklah berlaku keculai mempunyai mustanad
(sandaran), karena fatwa tanpa sandaran adalah salah; disebabkan ia merupakan
pendapat mengenai agama. Hal ini demi menjaga umat terjerumus dari kesalahan.
Boleh saja seseorang berkata: Sesungguhnya kesalahan itu terjadi bila tidak ada
kesepakatan diatasnya, adapun sesudah terjadinya ijma’, maka tidak ada
kesalahan, karena ijma’ itu adalah benar.
Pada pendapat yang lain, apabila rukun ijma’ yang empat
diatastelah terpenuhi dengan menghitungseluruh permasalahan hukum setelah
wafatnya Rasulullah SAWdari seluruh mujtahid kaum musliminwalau dengan
perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal
ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik
dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kelompok maupun individu.
Selanjutnya mereka menyepakati hukum tersebut, kemudian hukum tersebut
disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin
menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum
masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah
ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus
(dinasakh).
Pada referensi yang lainnya lagi mengatakan madzhab jumhur ulama' menyatakan bahwa
Ijma' wajib bersandar kepada dalil. Hal itu dishohihkan oleh sebagian ahli
ilmu, bahkan Al-Amidy pun menyatakan adanya kesepakatan ulama' tentang hal
tersebut dan beliau tidak menghiraukan orang yang berbeda dengan pendapatnya
tersebut. Dan jumhur ulama' pun menyatakan bahwa dalil yang dijadikan sandaran
juga bersifat Qoth'y (landasan hukum yang mutlak), baik dari Al-Qur'an atau
Sunnah Mutawatir serta yang bersifat Dzonny (landasan hukum yang tidak mutlak),
seperti hadits ahad dan lain-lain.
E.
MACAM-MACAM HUKUM IJMA’
Ditinjau
dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijmak ini ada dua macam:
1. Ijmak Sharih
Yaitu
kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.masing-masing
bebas mengeluarkan pendapat.jelas terlihat dalam fatwa, dan dalam memutus suatu
perkara.
2. Ijmak Sukuti
Sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan
pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi
hanya berdiam diri.
Pada
pendapat lainnya, hukum yang dihasilkan dari ijma’ juga terdapat dua macam:
a.
Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan
para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara
mereka. Ijma’ qath’iy ini dapat
dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b.
Ijma’ Sukutiy, yaitu suatu kesepakatan
para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan mana mendapat
tantangan (hambatan) di antara mereka atau tenang (diam) saja salah seorang di
antara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.
F.
BENTUK-BENTUK IJMA’
Pada pendapat
Syekh Abdul Wahab Khallaf macam-macam ijma’ antara lain:
1. Ijmak qath’i, yaitu ijmak sharih dengan pengertian bahwa hukumnya itu
diqath’ikan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadapa suatu peristiwa,
dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat).
2. Ijmak dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijmak dzanni dengan
pengertian hukumnya itu masih diragukan.
Pada
pendapat yang lain macam-macam ijma’ antara lain:
1. Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini
dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina.
Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan
keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia
bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2. Ijma’ Dzanni
Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan
dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih
tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini, dan perkataan yang paling rojih
dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan
dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah : "Dan ijma’ yang bisa diterima dengan
pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak
terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar." Ketahuilah bahwasanya umat
ini tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan
shorih serta tidak mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas
kebenaran. Dan jika engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi
kebenaran, maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak
shorih atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang
diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.
G.
KEDUDUKAN IJMA’
Jika mungkin adanya
ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin dipindahkan,
Tetapi tidak mungkin ijma’
itu dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan
hukum, karena yang menjadi alasan adalah Kitab dan Sunnah atau ijma’ yang didasarkan
kepada kitab dan sunnah, justru itu mereka katakan “ijma’ tidaklah termasuk dalil
yang bisa berdiri sendiri”.
H.
FAEDAH IJMA’
Para ulama' berbeda pendapat tentang faidah Ijma', apakah memberi faidah
yang qoth'y atau dzonny. Dalam masalah ini ada tiga (3) pendapat yang kuat,
yaitu:
1) Ijma'
adalah hujjah qoth'y. Al-Ashfahani berkata: inilah yang masyhur.
2) Ijma'
tidak memberi faidah kecuali dzonny saja, baik sandarannya bersifat qoth'y atau
dzonni.
3) Ijma' yang disepakati oleh ulama' mu'tabar
(diakui kualitas keilmuannya), maka dianggap qhot'y sedangkan Ijma' yang tidak
disepakati seperti Ijma' Sukuti yaitu Ijma' yang penetapannya tidak ditetapkan
dengan tegas, maka dinilai dzonni. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang
dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
I.
HUKUM MENYALAHAI IJMA’
Hukum bagi orang yang tidak mengakui atau menyalahi Ijma' sebagai sebuah
dalil terbagi dalam dua (2) golongan:
1) Orang
yang mengingkari kehujjahan (dalil) Ijma'. Sebagian ulama' menganggap orang ini
kafir. Pengarang Kasyful Asyror berkata: barang siapa yang mengingkari
Ijma', maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. Karena poros Ushuluddin
(dasar agama) dan sumber rujukannya adalah Ijma' kaum muslimin.
Akan tetapi
sebagaimana telah dimaklumi bahwa Ushuluddin dan poros utamanya adalah pada
Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil) nya menurut kebanyakan para
ulama' atas dasar Ijma', baik dzonni maupun qoth'i, karena hal tersebut
bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil Ijma'
tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid'ah atau fasiq.
2) Orang
yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar Ijma'. Hal ini memiliki
tiga tingkatan:
a. Hukum
yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi Ijma'
baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama'), seperti keesaan Alloh swt,
Rububiyah-Nya. Alloh satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad saw
sebagai penutup para Rosul. Nash-nash yang menunjukkan terjadinya hari qiyamat,
hari pembalasan, hari kebangkitan, hari perhitungan, jannah dan neraka,
ushul-ushul syari'at dan ibadat seperti sholat, puasa, zakat, haji dan
lain-lain. Maka, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah
kufur.
b. Hukum
yang ditetapkan oleh Ijma' qoth'y, seprti haramnya mengawinkan seorang gadis
dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rosululloh saw dan lain-lain.
Maka orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar'i
yang ditetapkan oleh dalil qoth'i
c. Hukum yang
ditetapkan oleh Ijma' dzonni (seperti Ijma' Sukuti), maka orang yang
mengingkarinya dianggap fasiq, ahlul bid'ah dan dia tidak kufur.
Qiyas
A.
PENGERTIAN QIYAS
Secara
etimologis(bahasa) qiyas berarti”قدر”,artinya mengukur,membandingkan
sesuatu dengan semisalnya.kalau seseorsng berbahsa arab mengatakanقست الثوب با لذراع",itu artinyasaya mengukur pakaian itu dengan
hasta”tentang arti qiyas menurut terminologis(istilah hukum),terdapat beberapa
defenisi berbeda yang saling berdekatan artinya.diantar defenisi-defenisi itu
adalah:
1.Al-ghazali dalam al-Mustashfa
memberi defenisi qiyas:
حمل
معلوم في اثبات حكم لهما اونفيه عنهما بامر جامع من حكم او نفيه
Menanggungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatuyang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya
atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara
keduanya,dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum
2.Qadhi Abu Bakar memberikan
defenisi yang mirip dengan diatas dan disetujui oleh kebanyakan ulama,yaitu:
حمل
معلوم على معلومفي اثباتحكم لهما او نفيهعنهمابامر جامع بينهما
Menanggungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya.
3.Ibnu Subhki dalam bukunya jam’u
al-jawami memberikan defenisi sebagai berikut:
حمل
معلوم على معلوم لمسا واتهفي علةحكمه عند الحامل
Menghubungkan sesuatu yang
diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan(mujtahid)
4.Abu hasan al-Bishri memberikan
defenisi:
تحصيل
حكم الاصل في الفرع لاشتبا ههما في علة الحكم عند المجتهد
Menghasilkan(menetapkan)hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam illat hukum menurut mujtahid
5.Al-baidhawi mendefenisikan qiyas dengan:
اثبات
مثلحكمفيمعلوم اخرلاشتراكهما في علة الحكم
عند المثبث
Menetapkan semisal hukumyang
diketahui pada sesuatu lain yang diketahui,karena keduanya berserikat dalam
illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan
Demikianlah beberapa defenisi
tentang “qiyas” yang dikemukakan para ulam ahli ushul fiqih.Defenisi-defenisi
tersebut berbeda rumusannya,namun berdeekatan maksudnya.Ada yang merumuskannya
secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Qudhamah.Ada
juga merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukakan
al-Ghazali.Masing-masing defenisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi
sasaran kritik dari pihak lainnya.
B.RUKUN QIYAS
Rukun Qiyas ada 4(empat):
1. Asal(pokok),yaitu yang menjadi
ukuran(maqis-alaih atau tempat menyerupakan(al-musyabbah bih)
2. Far’un(Cabang),yaitu yang diukur(maqis)atau
yang diserupakan(al-musyabbah)
3. Illat,yaitu sebab yang menggabungkan pokok
dengan cabangnya
4. .Hukum yaitu ditetapkanbagi cabang dan sama
dengan yang terdapat pada pokok.
C.SYARAT-SYARAT
QIYAS
1. Qiyas harus berupa hukum syara’sebangsa
perbuatan yang ditetapkan dalam nash.Adapun hukumsyara’ sebangsa perbuatanyang
ditetapkan dalam ijma’,dalam kemampuannya untuk menjangkau dengan cara qiyas
2. Qiyas harus berupa hukum asal yang illatnya
dapat ditangkap oleh akal manusia.jika akal tidak mampu menangkap atau tidak
menemukan illat hukumnya maka tidak mungkin ia dijangkau dengan qiyas.Karena
dasar qiyas adalah menemukan illat hukum asal dan berusaha menemukan illat
tersebut pada masalah baru.
D.MACAM-MACAM
QIYAS
Qiyas
ada empat macam:
1. Qiyas aulawi(lebih-lebih)
Qiyas
aulawi ialah yang illatnya sendiri
menetapkan adanya hukum,sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada
ashal.seperti haramnya memukul ibu bapak yang diqiyaskan kepada haramnya memaki
kepada mereka,dilihat dari segi illatnya ialah menyakiti,apalagi memukul
lebih-lebih menyakiti (Dalam pelajaran “mafhum”.ini disebut (“fahwalkitab”).
2. Qiyas Musawi(bersamaan illatnya)
Qiyas
Musawi,ialah illatnya sama dengan illat qiyas aulawi,hanya hukum yang
berhubungan dengan cabang (far’i) itu,sama setingkat dengan hukum
ashalnya.seperti qiyas memakan harta anak yatim kepada membakarnya,dilihat dari
segi illatnya sama-sama melenyapkan.
3. Qiyas Dilalah(menunjukkan)
Qaiyas
dilalah,ialah yang illatnya tidak menetapkan hukum,tetapi menunjukkan juga
adanya hukum.seperti mengqiyaskan wajibnya zakat harta benda anak-anak yatim
dengan wajibnya zakat harta orang dewasa,dengan alasan kedua-duanya merupakan
harta yang tumbuh.
4. Qiyas
Syibh(menyerupai)
Qiyas
Syibh,adalah mengqiyaskan cabang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang
paling banyak menyamai,seperti budak
yang dibunuh mati,dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama
keturunan adam;dapat juga diqiyaskan dengan ternak karena kedua-duanya adalah
harta benda yang dapat dimiiki ,dijual,diwakafkan dan diwariskan,harta benda
semacam ini,karena ia dapat dimiliki dan
diwariskan dan sebagainya.
D.Tingkat
Kehujjahan Qiyas
Para ulama yang menetapkan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil
dalil dari al-Quran,al sunnah,pendapat dan perbuatan sahabat,juga illat-illat
rasional.
Pertama:Diantara ayat-ayat al-Quran yang digunakan sebagai dalil ada tiga
ayat:Qs.annisa:59,Qs.al Hasyr:2, Qs.Yasin:79
Kedua:Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil ada dua:Hadits Mua’dz bin
jabal”Ketika Rasulullah mengutusnya ke Negeri Yaman,beliau bertanya.”Dengan
apa engkau menmutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah
kepadamu?”Mu’adz berkata,”Aku putuskan dengan Kitab Allah(Al-Quran),bila tidak
kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah,bila tidak kutemukan maka aku
berijtihad dengan pendapatku,dan aku tidak condong”Maka Rasulullah SAW.menepuk
dadanya dan bersabda,”segala puji bagi Allah Yang telah memberikan pertolongan
kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.”
Alasan
pengambilan dalil dengan hadits ini adalah karena Rasul menyetujui kepada
Mu’adz untuk berijtihad dalam memutuskan hukuman yang tidak ditemukan nashnya
dalam al-Quran dan al-sunnah.Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk
mendapatkan suatu hukum,termasuk diantaranya kias,karena kias merupakan salah
satu bentuk ijtihad dan cara mengambil hukum.
2.
Dalam sebuah riwayat dikatakan:”Seorang budak wanita dari suku khas`am
berkata, “Hai Rasulullah, ayahku terkena kewajiban haji ketika sudah tua dan
lumpuh, tidak mampu untuk melaksanakannya. Jika aku berhaji untuknya, apakah
itu dapat bermanfaat untuknya?”Nabi bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika ayahmu
mempunyai hutang kemudian kamu bayar, apaka itu dapat bermanfaat
untuknya?”Wanita itu berkata, “Ya.” Nabi bersabda,”Hutang kepada Allah lebih
berhak untuk dibayar.”
Ketiga:Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa Qiyas adalah
hujjah syara’.Mereka berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki
nash hukum yang memiliki nash dengan cara membanding-bandingkan antara satu
dengan yang lain.Mereka mengqiyaskan maslah khalifah imam shalat,membai’at Abu
bakar sebagai khalifah dengan menjelaskan dasar-dasar qiyas dengan
ungkapan;Rasulullah rela Abu bakar menjadi agama kita,apakah kita tidak rela
dia sebagai pemimpin kita.Mereka mengqiyaskan pengganti rasul dengan
rasul,mereka memerangi pembangkang zakat dengan dasar bahwa rasul melakukan
pngambilan zakat dan doa rasul sebagai penenang jiwa orang – orang yang
mengeluarkan zakat
Keempat:Adapun illat rasional dalam menetapkan qiyas asa tiga:
1.Allah
Swt tidak menetapkan hukum syara’kecuali untuk kemashlahatan umat adalah tujuan
akhir dari penetapan hukum syara’.Bila suatu kejadian yang telah memiliki nash
dalam hal illat hukumnya-yang diduga kuat untuk kemashlahatan,makasikap
bijaksana dan rasa keadilan menuntun untuk menyamakan masalah-masalah itu dalam
hukumnya,untuk membuktikan kemashlahatan dalam menetapkan hukum syara’ yang
menjadi tujuan pembuatan hukum.
2.Nash
al-Quran dan Al-sunnah sangat terbatas dan ada habisnya.sedangkan kejadian dan
permasalahan manusia tidak terbatas dan tidak ada habisnya.Maka tidak mungkin
nash yang ada habisnya itu saja menjadi sumber hukum syara’bagi masalah-masalah
yang tidak ada habisnya.Oleh karena itu qiyas bertindak sebagai sumber hukum
syara’yang mengiringi kejadian-kejadian baru,,membuka peluang pembentukan huku
dalam masalah baru dan memadukan antara pembuatan hukum dengan kemashlahatan.
3.Qiyas
adalah dalil yang didukung oleh naluri yang sehat dan teori yang
benar.Seseorang yang melarang minuman karena beracun,bisa mengqiyaskan minuman
itu kepada semua minuman yang beracun.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie,A,Ushul
fiqh,Widjaya,Jakarta,1959
Khallaf
,Wahhab ,Abdul,Ilmu ushul fiqh kaidah hukum islam,Pustaka Amani,Jakarta
2003
Sudarsono,Pokok-pokok
hukum islam,Rineka Cipta,Jakarta,1992
Syarifuddin
,Amir,Ushul Fiqh Jilid 1,Logos Wacana ilmu,Jakarta,1997
Rifa’i,Moh,Ilmu
Fiqh Islam Lengkap,CV.Toha Putra,Semarang,1978
Biek, Syaikh Muhammad
Al-Khudhari. 2007. Terjemahan Ushul Fiqh.
Jakarta:Pustaka Amani
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005.
Ilmu ‘usul Fikh. Jakarta:PT Rineka
Cipta
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Rajawali
Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar