Selasa, 16 Juli 2013

IJMA' DAN QIYAS

IJMA’

A.      PENGERTIAN IJMA’
Definisi dari ijma menurut Drs. Nazar Bakry adalah Ijma’ menurut syara’ adalah suatu kesepakatan bagi orang-orang yang susah payah dalam menggali hukum agama (mujtahid) di antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal dalam suatu masa yang tidak ditentukan atau suatu urusan (masalah) di antara masalah-masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan sunnah).1
Sedangkan menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf dalam bukunya adalah ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid Muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syr’i, pada suatu peristiwa.2
Sedangkan dalam buku karangan Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek menerangkan bahwa ijma’ ialah suatu produk hukum atas hasil kesepakatan para mujtahidin dari suatu umat dalam suatu masa.
Pada sumber lain ada yang mengatakan bahwa ijma’ secara bahasa adalah niat yang kuat dan kesepakatan. Dan arti menurut bahasa adalah kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap suatu hukum syar’i.
Pada referensi yang lainnya ada yang mengatakan Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1)   Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ  (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2)   Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3)      Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4)      Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5)      Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6)      Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

B.       SENDI-SENDI IJMA’
Sendi-sendi ijma’ menurut definisi di atas menunjukkan bahwa ia hasil kodifikasi pendapat mujtahid satu dengan pendapat mujtahid yang lainnya yang sesuai. Maka dari itu dapat dipahami bahwa sendi ijma’ yang menjadi syarat terbentuknya ijma’ ada empat, yaitu:
1.      Bahwa jarangnya penentang pendapat mempengaruhi terwujudnya ijma’, karena pengertian kesepakatan belum terwujud, hanya saja banyak ahli hukum berhujjah dengan pendapat mayoritas jika jarang terdapat penentang mereka.
2.      Bahwa andaikata tidak terdapat dalam suatu masa kecuali seorang mujtahid yang mempunyai pendapat dalam suatu perkara, tidaklah pendapat itu dianggap ijma’, karena kesepakatan tidak terwujud pengertiannya dan juga bukan merupakan hujjah, karena bilamana tidak ada sifat ijma’ darinya, ia pun menjadi pendapat tunggal dari mujtahid dan kemungkinan terjadi kesalahan, maka perkataannya bukanlah hujjah.
3.      Pendapat itu haruslah satu dan menjadi kesepakatan. Maka, andaikata umat suatu masa terpecah menjadi dua pihak, yang satu mengemukakan satu pendapat dan yang kedua mempunyai pendapat lain dalam suatu hukum, apakah ini dianggap ijma dari mereka. Sedangkan dalam masa itu hanya ada salah satu dari kedua pendapat ini sehingga tidak boleh bagi orang sesudah mereka untuk mengemukakan pendapat ketiga ataukah ia tidak dianggap ijma’? sebagian besar ulama tidak boleh mengemukakan pendapat ketiga dan sebagian kecil mengatakan boleh.
4.      Semestinya tampak kesepakatan dengan mengemukakan pendapat sehingga diketahui dan nyata bahwa ia adalah kesepakatan. Adapun bila didiamkan dengan cara sebagian mujtahid memberikan fatwa dengan suatu hukum atas suatu masalah atau memutuskan hukum suatu perkara atas dirinya sendiri sementara mujtahid lainnya berdiam diri dan tidak menyangkalnya, maka hal ini dikategorikan ijma’ atau tidak? Apabila hal tersebut terjadi, maka hal itu dinamakan ijma’ sukuti.

C.      SYARAT- SYARAT IJMA’
Ijma’ memiliki syarat-syarat diantaranya:
1.      Tetap melalui jalan yang sholih yang artinya dengan kemahsyurannya dikalangan ulama atau orang yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.
2.      Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya. Artinya jika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak bataldengan kematian yang mengucapkannya maka ijma’ tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan tetapi ijma’ bisa mencegah terjadinya khilaf.

D.      SANDARAN IJMA’
Ijma’ tidaklah berlaku keculai mempunyai mustanad (sandaran), karena fatwa tanpa sandaran adalah salah; disebabkan ia merupakan pendapat mengenai agama. Hal ini demi menjaga umat terjerumus dari kesalahan. Boleh saja seseorang berkata: Sesungguhnya kesalahan itu terjadi bila tidak ada kesepakatan diatasnya, adapun sesudah terjadinya ijma’, maka tidak ada kesalahan, karena ijma’ itu adalah benar.
Pada pendapat yang lain, apabila rukun ijma’ yang empat diatastelah terpenuhi dengan menghitungseluruh permasalahan hukum setelah wafatnya Rasulullah SAWdari seluruh mujtahid kaum musliminwalau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kelompok maupun individu. Selanjutnya mereka menyepakati hukum tersebut, kemudian hukum tersebut disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
Pada referensi yang lainnya lagi mengatakan madzhab jumhur ulama' menyatakan bahwa Ijma' wajib bersandar kepada dalil. Hal itu dishohihkan oleh sebagian ahli ilmu, bahkan Al-Amidy pun menyatakan adanya kesepakatan ulama' tentang  hal tersebut dan beliau tidak menghiraukan orang yang berbeda dengan pendapatnya tersebut. Dan jumhur ulama' pun menyatakan bahwa dalil yang dijadikan sandaran juga bersifat Qoth'y (landasan hukum yang mutlak), baik dari Al-Qur'an atau Sunnah Mutawatir serta yang bersifat Dzonny (landasan hukum yang tidak mutlak), seperti hadits ahad dan lain-lain.

E.       MACAM-MACAM HUKUM IJMA’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijmak ini ada dua macam:
1.      Ijmak Sharih
Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa.masing-masing bebas mengeluarkan pendapat.jelas terlihat dalam fatwa, dan dalam memutus suatu perkara.
2.      Ijmak Sukuti
Sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri.
            Pada pendapat lainnya, hukum yang dihasilkan dari ijma’ juga terdapat dua macam:
a.         Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma’  qath’iy ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b.        Ijma’ Sukutiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) di antara mereka atau tenang (diam) saja salah seorang di antara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.


F.       BENTUK-BENTUK IJMA’
Pada pendapat Syekh Abdul Wahab Khallaf macam-macam ijma’ antara lain:
1.      Ijmak qath’i, yaitu ijmak sharih dengan pengertian bahwa hukumnya itu diqath’ikan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadapa suatu peristiwa, dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat).
2.      Ijmak dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijmak dzanni dengan pengertian hukumnya itu masih diragukan.
Pada pendapat yang lain macam-macam ijma’ antara lain:
1.      Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
2.      Ijma’ Dzanni
Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu' & istiqro'). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al Aqidah Al Wasithiyyah : "Dan ijma’ yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar." Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.

G.      KEDUDUKAN IJMA’
Jika mungkin adanya ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin dipindahkan,
Tetapi tidak mungkin ijma’ itu  dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum, karena yang menjadi alasan adalah Kitab dan Sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah, justru itu mereka katakan “ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri”.
H.      FAEDAH IJMA’
Para ulama' berbeda pendapat tentang faidah Ijma', apakah memberi faidah yang qoth'y atau dzonny. Dalam masalah ini ada tiga (3) pendapat yang kuat, yaitu:
1)      Ijma' adalah hujjah qoth'y. Al-Ashfahani berkata: inilah yang masyhur.
2)      Ijma' tidak memberi faidah kecuali dzonny saja, baik sandarannya bersifat qoth'y atau dzonni.
3)      Ijma' yang disepakati oleh ulama' mu'tabar (diakui kualitas keilmuannya), maka dianggap qhot'y sedangkan Ijma' yang tidak disepakati seperti Ijma' Sukuti yaitu Ijma' yang penetapannya tidak ditetapkan dengan tegas, maka dinilai dzonni. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.

I.         HUKUM MENYALAHAI IJMA’
Hukum bagi orang yang tidak mengakui atau menyalahi Ijma' sebagai sebuah dalil terbagi dalam dua (2) golongan:
1)      Orang yang mengingkari kehujjahan (dalil) Ijma'. Sebagian ulama' menganggap orang ini kafir. Pengarang Kasyful Asyror berkata: barang siapa yang mengingkari Ijma', maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. Karena poros Ushuluddin (dasar agama) dan sumber rujukannya adalah Ijma' kaum muslimin.
Akan tetapi sebagaimana telah dimaklumi bahwa Ushuluddin dan poros utamanya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil) nya menurut kebanyakan para ulama' atas dasar Ijma', baik dzonni maupun qoth'i, karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil Ijma' tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid'ah atau fasiq.
2)      Orang yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar Ijma'. Hal ini memiliki tiga tingkatan:
a.       Hukum yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi Ijma' baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama'), seperti keesaan Alloh swt, Rububiyah-Nya. Alloh satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad saw sebagai penutup para Rosul. Nash-nash yang menunjukkan terjadinya hari qiyamat, hari pembalasan, hari kebangkitan, hari perhitungan, jannah dan neraka, ushul-ushul syari'at dan ibadat seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Maka, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah kufur.
b.      Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' qoth'y, seprti haramnya mengawinkan seorang gadis dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rosululloh saw dan lain-lain. Maka orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar'i yang ditetapkan oleh dalil qoth'i
c.       Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' dzonni (seperti Ijma' Sukuti), maka orang yang mengingkarinya dianggap fasiq, ahlul bid'ah dan dia tidak kufur.


Qiyas

A.    PENGERTIAN QIYAS
Secara etimologis(bahasa) qiyas berarti”قدر”,artinya mengukur,membandingkan sesuatu dengan semisalnya.kalau seseorsng berbahsa arab mengatakanقست الثوب با لذراع",itu artinyasaya mengukur pakaian itu dengan hasta”tentang arti qiyas menurut terminologis(istilah hukum),terdapat beberapa defenisi berbeda yang saling berdekatan artinya.diantar defenisi-defenisi itu adalah:
1.Al-ghazali dalam al-Mustashfa memberi defenisi qiyas:
حمل معلوم في اثبات حكم لهما اونفيه عنهما بامر جامع من حكم او نفيه
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatuyang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya,dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum
2.Qadhi Abu Bakar memberikan defenisi yang mirip dengan diatas dan disetujui oleh kebanyakan ulama,yaitu:
حمل معلوم على معلومفي اثباتحكم لهما او نفيهعنهمابامر جامع بينهما
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
3.Ibnu Subhki dalam bukunya jam’u al-jawami memberikan defenisi sebagai berikut:
حمل معلوم على معلوم لمسا واتهفي علةحكمه عند الحامل
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan(mujtahid)
4.Abu hasan al-Bishri memberikan defenisi:
تحصيل حكم الاصل في الفرع لاشتبا ههما في علة الحكم عند المجتهد
Menghasilkan(menetapkan)hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam illat hukum menurut mujtahid
5.Al-baidhawi mendefenisikan qiyas dengan:
اثبات مثلحكمفيمعلوم اخرلاشتراكهما  في علة الحكم عند المثبث
Menetapkan semisal hukumyang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui,karena keduanya berserikat dalam illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan 
Demikianlah beberapa defenisi tentang “qiyas” yang dikemukakan para ulam ahli ushul fiqih.Defenisi-defenisi tersebut berbeda rumusannya,namun berdeekatan maksudnya.Ada yang merumuskannya secara sederhana namun padat isinya seperti yang dikemukakan Ibnu Qudhamah.Ada juga merumuskannya secara panjang dan agak rumit seperti yang dikemukakan al-Ghazali.Masing-masing defenisi itu mempunyai titik lemah sehingga menjadi sasaran kritik dari pihak lainnya.

B.RUKUN QIYAS
Rukun Qiyas ada 4(empat):
1.  Asal(pokok),yaitu yang menjadi ukuran(maqis-alaih atau tempat menyerupakan(al-musyabbah bih)
2. Far’un(Cabang),yaitu yang diukur(maqis)atau yang diserupakan(al-musyabbah)
3.  Illat,yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya
4.  .Hukum yaitu ditetapkanbagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.

C.SYARAT-SYARAT QIYAS
1.  Qiyas harus berupa hukum syara’sebangsa perbuatan yang ditetapkan dalam nash.Adapun hukumsyara’ sebangsa perbuatanyang ditetapkan dalam ijma’,dalam kemampuannya untuk menjangkau dengan cara qiyas
2.  Qiyas harus berupa hukum asal yang illatnya dapat ditangkap oleh akal manusia.jika akal tidak mampu menangkap atau tidak menemukan illat hukumnya maka tidak mungkin ia dijangkau dengan qiyas.Karena dasar qiyas adalah menemukan illat hukum asal dan berusaha menemukan illat tersebut pada masalah baru.

D.MACAM-MACAM QIYAS
Qiyas ada empat macam:
1.    Qiyas aulawi(lebih-lebih)
Qiyas aulawi ialah yang illatnya  sendiri menetapkan adanya hukum,sementara cabang lebih pantas menerima hukum daripada ashal.seperti haramnya memukul ibu bapak yang diqiyaskan kepada haramnya memaki kepada mereka,dilihat dari segi illatnya ialah menyakiti,apalagi memukul lebih-lebih menyakiti (Dalam pelajaran “mafhum”.ini disebut (“fahwalkitab”).



2.    Qiyas Musawi(bersamaan illatnya)
Qiyas Musawi,ialah illatnya sama dengan illat qiyas aulawi,hanya hukum yang berhubungan dengan cabang (far’i) itu,sama setingkat dengan hukum ashalnya.seperti qiyas memakan harta anak yatim kepada membakarnya,dilihat dari segi illatnya sama-sama melenyapkan.
3.  Qiyas Dilalah(menunjukkan)
Qaiyas dilalah,ialah yang illatnya tidak menetapkan hukum,tetapi menunjukkan juga adanya hukum.seperti mengqiyaskan wajibnya zakat harta benda anak-anak yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa,dengan alasan kedua-duanya merupakan harta yang tumbuh.
 4. Qiyas Syibh(menyerupai)
Qiyas Syibh,adalah mengqiyaskan cabang diragukan diantara kedua pangkal kemana yang paling banyak  menyamai,seperti budak yang dibunuh mati,dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka karena sama-sama keturunan adam;dapat juga diqiyaskan dengan ternak karena kedua-duanya adalah harta benda yang dapat dimiiki ,dijual,diwakafkan dan diwariskan,harta benda semacam ini,karena ia dapat dimiliki  dan diwariskan dan sebagainya.

D.Tingkat Kehujjahan Qiyas
Para ulama yang menetapkan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil dari al-Quran,al sunnah,pendapat dan perbuatan sahabat,juga illat-illat rasional.
Pertama:Diantara ayat-ayat al-Quran yang digunakan sebagai dalil ada tiga ayat:Qs.annisa:59,Qs.al Hasyr:2, Qs.Yasin:79
Kedua:Diantara sunnah yang digunakan sebagai dalil ada dua:Hadits Mua’dz bin jabal”Ketika Rasulullah mengutusnya ke Negeri Yaman,beliau bertanya.”Dengan apa engkau menmutuskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu masalah kepadamu?”Mu’adz berkata,”Aku putuskan dengan Kitab Allah(Al-Quran),bila tidak kutemukan maka dengan sunnah Rasulullah,bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan pendapatku,dan aku tidak condong”Maka Rasulullah SAW.menepuk dadanya dan bersabda,”segala puji bagi Allah Yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah atas apa yang ia relakan.” 
Alasan pengambilan dalil dengan hadits ini adalah karena Rasul menyetujui kepada Mu’adz untuk berijtihad dalam memutuskan hukuman yang tidak ditemukan nashnya dalam al-Quran dan al-sunnah.Adapun ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum,termasuk diantaranya kias,karena kias merupakan salah satu bentuk ijtihad dan cara mengambil hukum.
2. Dalam sebuah riwayat dikatakan:”Seorang budak wanita dari suku khas`am berkata, “Hai Rasulullah, ayahku terkena kewajiban haji ketika sudah tua dan lumpuh, tidak mampu untuk melaksanakannya. Jika aku berhaji untuknya, apakah itu dapat bermanfaat untuknya?”Nabi bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang kemudian kamu bayar, apaka itu dapat bermanfaat untuknya?”Wanita itu berkata, “Ya.” Nabi bersabda,”Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.”
Ketiga:Adapun perbuatan dan ucapan para sahabat membuktikan bahwa Qiyas adalah hujjah syara’.Mereka berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki nash hukum yang memiliki nash dengan cara membanding-bandingkan antara satu dengan yang lain.Mereka mengqiyaskan maslah khalifah imam shalat,membai’at Abu bakar sebagai khalifah dengan menjelaskan dasar-dasar qiyas dengan ungkapan;Rasulullah rela Abu bakar menjadi agama kita,apakah kita tidak rela dia sebagai pemimpin kita.Mereka mengqiyaskan pengganti rasul dengan rasul,mereka memerangi pembangkang zakat dengan dasar bahwa rasul melakukan pngambilan zakat dan doa rasul sebagai penenang jiwa orang – orang yang mengeluarkan zakat
Keempat:Adapun illat rasional dalam menetapkan qiyas asa tiga:
1.Allah Swt tidak menetapkan hukum syara’kecuali untuk kemashlahatan umat adalah tujuan akhir dari penetapan hukum syara’.Bila suatu kejadian yang telah memiliki nash dalam hal illat hukumnya-yang diduga kuat untuk kemashlahatan,makasikap bijaksana dan rasa keadilan menuntun untuk menyamakan masalah-masalah itu dalam hukumnya,untuk membuktikan kemashlahatan dalam menetapkan hukum syara’ yang menjadi tujuan pembuatan hukum.
2.Nash al-Quran dan Al-sunnah sangat terbatas dan ada habisnya.sedangkan kejadian dan permasalahan manusia tidak terbatas dan tidak ada habisnya.Maka tidak mungkin nash yang ada habisnya itu saja menjadi sumber hukum syara’bagi masalah-masalah yang tidak ada habisnya.Oleh karena itu qiyas bertindak sebagai sumber hukum syara’yang mengiringi kejadian-kejadian baru,,membuka peluang pembentukan huku dalam masalah baru dan memadukan antara pembuatan hukum dengan kemashlahatan.
3.Qiyas adalah dalil yang didukung oleh naluri yang sehat dan teori yang benar.Seseorang yang melarang minuman karena beracun,bisa mengqiyaskan minuman itu kepada semua minuman yang beracun.


DAFTAR PUSTAKA

Hanafie,A,Ushul fiqh,Widjaya,Jakarta,1959
Khallaf ,Wahhab ,Abdul,Ilmu ushul fiqh kaidah hukum islam,Pustaka Amani,Jakarta 2003
Sudarsono,Pokok-pokok hukum islam,Rineka Cipta,Jakarta,1992
Syarifuddin ,Amir,Ushul Fiqh Jilid 1,Logos Wacana ilmu,Jakarta,1997
Rifa’i,Moh,Ilmu Fiqh Islam Lengkap,CV.Toha Putra,Semarang,1978 
Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudhari. 2007. Terjemahan Ushul Fiqh. Jakarta:Pustaka Amani
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu ‘usul Fikh. Jakarta:PT Rineka Cipta
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Rajawali Pers







Tidak ada komentar:

Posting Komentar