BAB I
PENDAHULUAN
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi saw. adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Hal ini sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr : 7 ; ا
“ Apa yang di berikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi Saw. Dalam hal ini Nabi saw. sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan: “ Wahai Umatku, sungguh aku telah di beri al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmuziy ).
Jadi tidak di ragukan lagi bahwa
yang di maksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di
atas adalah hadis Nabi saw. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai
sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang
mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan
kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi
keotentikannya dapat di pertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan
suatu hukum. Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting,
mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada
akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn
‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.
Dengan melihat jauhnya jarak antara
masa kehidupan Nabi saw. dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak
menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan
terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis
menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun da’if.
Perlu di jelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah
merupakan pecahan dari kualitas hadis da’if yang di pergunakan sebelum masanya
al-Turmuziy.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan kevaliditasannya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang di pergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah : Larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang di jadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun da’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau da’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis di maksud benar-benar berasal dari Nabi saw. sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat di pertanggung jawabkan kevaliditasannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Larangan Menyuap
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan. Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, (janganlah kamu) membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah: 188).
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena merusak berbagai tatanan atas system yang ada di masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya, terjadi kekacauan dan ketidakadilan. Dengan suap, banyak para pelanggar hukum yang seharusnya diberi hukumanberat justru mendapat hukuman ringan bahkan lolos dari jeratan hukum atau sebaliknya. Bagaimanapun juga, seorang hakim yang telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak-balikan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang-undangan yang digunakannya merupakan hasil perbuatan manusia, maka mudah sekali baginya untuk mengutak-atiknya sesuai dengan kehendaknya. Kalau kejadian tersebut terus berlangsung, maka lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi kepada penegak hukum karena selalu menjadi pihak yang dirugikan. Mak demikian, hukum riba yang akan berlaku.
Islam melarang perbuatan menyuap, bahkan menggolongkan
sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena
perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi
melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama didepan hukum.
Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari
pihak manapun selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan seorang hakim harus diberikan kepada mereka yang berkecukupan daripada dijabat oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap-menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah
hukum saja tetapi dalam berbagai aktivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis
lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum tetapi bersifat
umum seperti yang di jelaskan dalam hadist Tarmidzi berikut ini:
باب ما جاء في الراشي
والمرتشي في الحكم
-
حدثنا قتيبة حدثنا أبو عوانة عن عمرو بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة قال لعن
رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم قال وفي الباب عن عبد
الله بن عمرو و عائشة و ابن حديدة و أم سلمة
قال أبو عيسى حديث أبي هريرة حديث حسن صحيح وقد روي هذا الحديث عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم وروي عن أبي سلمة عن أبيه عن النبي صلى الله عليه و سلم ولا يصح قال وسمعت عبد الله بن عبد الرحمن يقول حديث أبي سلمة عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم أحسن شيء في هذا الباب وأصح صحيح
قال أبو عيسى حديث أبي هريرة حديث حسن صحيح وقد روي هذا الحديث عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم وروي عن أبي سلمة عن أبيه عن النبي صلى الله عليه و سلم ولا يصح قال وسمعت عبد الله بن عبد الرحمن يقول حديث أبي سلمة عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم أحسن شيء في هذا الباب وأصح صحيح
1. Terjemah, mufradat dan maksud lafadz
hadits tersebut
telah
menceritakan kepada kami Quthaibah. menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah
dari Amri bin Abi Sallamah dari bapaknya, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah
SAW melaknat kepada penyuap dan yang diberi suap dalam urusan hukum . dan
dikatakan dalam sebuah bab dari Abdullah bin Umar,Aisyah,ibnu hadida dan,umu
salmah, berkata abu isa hadits abu hurairah,hadits hasan shahih dan
hadits ini telah diriwayatkan dari abi salmah bn abi rahman dari Abdullah bin
umar dari nabi SAW dan diriwayatkan dari abi salmah dari ayahnya dari nabi SAW
:Tidak sah berkata dan mendengar Abdullah bin abdurahman berkata hadis salamah
dar Abdullah bin umar dari nabi SAW adalah bagian yang hasan dan telah
dishahihkan dalam bab ini.( HR. tirmidzi )
mufrodat
ﺍﻟﺭﺍﺷﻰ
: orang yang menyuap
ﺍﻟﻤﺮﺘﺷﻰ :
orang yang diberi suap atau yang menerima suap
Maksud
lapadz ﺍﻟﺮﺍﺷﯥ adalah orang yang memberikan suap yaitu yang memberikan uang
kepada hakim atau yang lainnya sehingga nantinya hakiom akan berpihak padanya
dan orangh yang memberikan suap tersebut dikatakan menang.
Maksud
dari lapadz ﺍﻟﻤﺮﺘﺸﻰ yaitu orang yang diberi suap atau orang yang menerima suap
dalam arti bisa dikatakan hakim yang menerima suap salah satu contohnya
penerimaan suap sebelum persidangan dimulai sehingga hakim berpihak pada orang
yang memberi suap.
2.
Esensi dari hadits tersebut, menurut
ta’rif istilah dan dilalah
a. Esensi hadits secara
istilah
untuk
mengetahui hadits tersebut termasuk kedalam kategori hadits kita menggunakan
teori ta’rif hadits secara istilah yaitu:
Apa-apa yang nisbah atau idhafat kepada Nabi Muhamad SAW
berupa perkataan dan perbuatan atau yang serupa dengannya.
Dan hadits diatas termasuk kedalam kategoti hadits sebab
menurut ta’rif istilah hadits itu adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada nabi atau nisbah kepada Nabi. Dan hadits ini diidhafatkan kepada Nabi
dengan adanya kata qala rasulullah saw
b.
Hadits secara dilalah
Hadits secara dilalah adalah semua hadits yang termaktub
pada kitab hadits yaitu diwan asliyah. Yang termasuk kedalam kedalam diwan
asliyah
1. mushanaf awal yaitu Malik dan
Abdurrajak
2. Musnad yaitu Hanafi, Syafe’I,
Ahmad,Umaidi, Ubaidillah, yaqub, Musadad, Thayalisi dan Abu ya’ala
3. Mushanaf sunan yaitu Abu daud,
Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Madjah, darimi, Daruqutni, Baihaki, Dailami
4. Mushanaf Shahih yaitu: Bukhari,
Muslim,Ibn hiban, Ibn Hujaimah, Ibn Jalud dan Abu Awanah Hakim.
Hadits ini termasuk pada kitab hadits yaitu kitab Hadits
yaitu kitab Ahmad juga terdapat dalam imam yang empat dan dihasankan juga oleh
Tirmidzi dan di shahihkan oleh Ibn Hiban. Unsur hadits tersebut menurut ta’rif
arkan atau taqsim lingkup
3. Unsur hadits terdapat tiga yaitu rawi, sanad dan matan.
1. Rawi adalah orang yang meriwayatkan
hadits,memelihara dan menyampaikannya.
Rawi
hadits ini Abu Hurairah, Ayah Umar bin Abi salamah, Umar bin Abi salamah, Abu
Awanah, Quthaibah dan Ahmad.
Maksud
dari penerimaan adalah mendengar perkataan, melihat perbuatan dan mengetahui
berbagai macam tentang apapun.
Yang
dimaksud dengan pemeliharaan adalah mengahapal hadits yang diterima,
mengamalkannya sehari-hari dan mencatatnya.
Yang
dimaksud dengan menyampaikan adalah menyampaikan hadits secara lisan dan
tulisan.
Proses
transportasi hadits sejak wurudnya pada masa Nabi berupa perkataan, perbuatan
dan lain-lain. Diterima oleh sahabat dengan mendengar sabdanya, melihat
perbuatannya dan mengetahui berbagai lainnya kemudian dipelihara dalam hapalan,
amalan dan catatan lalu disampaikan secara lisan atau tulisan kepada sahabat
yang lain kemudian kepada tabi’it tabi’in dan mulai abad kedua Hijriyah dan
tadwin sampai terkoleksinya dalam kitab hadits pada abad kelima hijriyah.
2.
Sanad yaitu sandaran hadits atau sumber pemberitaan hadits ya’ni para rawi
mulai dari mudawin, gurunya, dan selanjutnya sampai rawi yang pertama kali
menerima hadits.
Sanad
hadits ini adalah:
1.
Ahmad
2.
Quthaibah
3.
Abu Awanah
4.
Umar bin Abi Salamah
5.
Ayah Umar bin Abi Salamah
6.
Abi Hurairah
3. Matan
Adalah
redaksi atau lafadz hadits .matan hadits ini adalah:
.
ﺻﻟﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻟﻴﻪﻮﺴﻟﻡﺍﻠﺮﺷﻰﻮﺍﻟﻤﺮﺘﺷﻰﻔﻰﺍﻠﺤﻛﻢ.ﻟﻌﻦﺮﺳﻮﻝﺍﻟﻟﻪ
5. Jenis hadits tersebut menurut taqsim
musthalah
untuk
mengetahui jenis hadits ini teori ynag digunakan adalah Taqsim ( pembagian)
jenis
hadits dilihat dari rawi terbagi menjadi dua yaitu mutawattir dan ahad.
1. Hadits Mutawattir adalah
sebuah hadis yang diperoleh melalui indera, yang diriwayatkan sejumlah besar
periwayat dalam jumlah yang menurut adat mutashil mereka besepakat atas
kebohongan. Atau hadits yang jumlah rawinya banyak, yaitu 4 atau lebih
perthabaqah ( thabaqah adalah generasi rawi).
Mudawwin:
1. Hanafi ( tabiin )
2. Maliki( tabii tabiin )
3. Hanafi, Syafii, Ahmad,
Humaidi, Ubaidillah, Yakub, Musadad, Thoyalisi ( 3T )
4. Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Darimi ( 4T )
5. Ibnu Hibban, Ibnu Hujaimah,
Ibnu Jarrud, Abu awanah, DaruQutni ( 5T )
6. Hakim (6T)
7. Baihaqi, Dailami ( 7T )
Syarat
– syarat mutawattir antara lain:
· Beritanya
Makhus ( indrawi ; bias terlihat, terdengar, terasa, tercium )
· Jumlah
rawi banyak, tidak ada kesan dusta.
· Jumlah
setiap thabaqah seimbang, min 4.
Mutawattir
terbagi menjadi dua:
§ Mutawattir Lafdzi: Hadis mutawattir yang lafadznya
sama sehingga maknanya sama. Sedangkan menurut ‘Ajjaj al-Khathib, adalah hadis
yang diriwayatkan dengan lafadznya oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi
yang lain dan tidk ada kekhawatiran bahwa mereka bersepakat dusta, dari awal
sanad sampai akhir sanad.
§ Mutawattir maknawi: Hadis mutawattir yang lafadznya
beda, makna beda, tetapi ada makna yang umum.
2. Hadis Ahad
Yaitu
hadis yang jumlah rawinya tidak banyak ( tidak sampai kepada mutawattir ),
maksudnya ada 3:
Ø Jumlah rawinya mutawattir 4 sedangkan ahad 3
Ø Syaratnya mutawattir ada 3 syarat sedangkan ahad
tidak ada syarat
Ø Derajatnya mutawattir Qath’I sedangkan ahad Dzoni.
Ahad
terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Hadis masyhur
Yaitu
hadis yang ada 3 perthabaqah, adapun pendapat lain, adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih, serta belum mencapai derajat
Mutawattir.
b. Hadis Aziz
Yaitu
hadis yang ada 2 perthabaqah
c. Hadis Gharib
Yaitu
hadis yang ada 1 perthabaqah, atau hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Jenis Hadis dilihat dari segi matan, terbagi menjadi dua yaitu bentuk dan
idhafah.
Jenis hadis dari segi matan dilihat dari bentuknya terbagi
menjadi 3:
1. Hadis Qauli: hadis yang
berupa ucapan Nabi Muhammad saw
2. Hadis Fi’li: Hadis yang
berupa perbuatan Nabi Muhammad saw
3. Hadis Taqriri: Hadis yang
berupa ketetapan Nabi Muhammad saw
4. Hadis Hammi: Hadis yang
berupa rencana Nabi Muhammad saw
Hadis
hammi terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Hakiki, tanda,
bentuk dan idhafatnya itu eksplisit ( jelas atatu tertera )
b. Hukmi, tanda, bentuk, dan
idhafatnya itu implisit ( tidak jelas atau tidak tertera )
Jenis
Hadis dari segi matan dilihat dari idhafatnya terbagi menjadi 3:
1. Marfu, adalah hadis yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw
2. Mauquf, adalah hadis yang
disandarkan kepada Sahabat Nabi Muhammad saw
3. Maqtu, adalah hadis yang
disandarkan kepada Tabiin
Hadis
ini termasuk hadis marfu Taqriri hakiki, karena hadits ini diidhafatkan kepada
Nabi yang berupa ketetapan yang eksplisit atau jelas. Tandanya : ﻟﻌﻦﺮﺳﻮﻝﺍﻟﻟﻪ
6. kualitas hadits tersebut
secara tashih dan I’tibar
Cara menentukan keshahihan hadits tersebut, yakni dengan
menggunakan kaidah keshahihan hadits, disebut metode tashih. Cara kedua, untuk
mengetahui kualitas hadits adalah dengan menggunakan petunjuk atau I’tibar dari
hal – hal yang dapat menunjukan kualitas hadits.
a. Menggunakan Tashih
Tashih
adalah menentukan kualitas hadis berdasarkan kaidah dirayah dengan menilai rawi
sanad dan matanmenurut kriterianya dngan menuliskan ilmu hadis yang sudah
dijadikan klitab pembantu atau kitab kamus yaitu kitab tahdzib
berdasrakan petunjuk dan penelasan dan pembahasan
b. Menggunakan I’tibar
itibar
adalah menentukan kualitas hadis berdasarkan petunjuk penjelasan dan
pembahasan.
Macam-macam
itibar:
1. I’tibar diwan adalah
menentukan kualitas hadis berdasarkan petunjuk jenis kitabnya sebab menurut
konfrensi muhaditsin jenis kitab menentukan kualitas hadisnya.
2. I’tibar syarah
Menentukan
kualitas hadis berdasarkan kitab syarah,
3. Menentukan kualitas hadis berdasarkan
kitab ilmu
Jadi
kualitas hadis suap menyuap menggunakan teori itibar diwan. Yaitu makbul,
sebutannya shahih sebab termaktub dalam kitab shahih tirmidzi, sebab konfrensi
muhadisin mengatakan jenis kitab menentukan kualitas hadisnya. Kitab shahih
maka hadisnya shahih.
7. Hadits tersebut
ma’mul atau mardud
Untuk
menganalisis hadis apakah makbul apakah makbul maknmul atau apakah makbul ghair
makmul maka ada dua kaidah makbul:
1. Apakah hadis makbul itu
hanya satu atau setelah ditakhrij ada dua atau lebih namun sama
(lafdzi/maknawi) maka makmul dang hair makmulnya ditentukan oleh apakah hadis
itu muhkam (makmul/mutasyabih) hadis muhkam adalah hadis yang lafadz dan
maknanya jelas dan tegas serta mudah mengamalkannya. Sedangkan hadis mutasyabbih
hadis yang lafadz dan maknanya tidak jelas dan tegas serta sulit
mengamalkannya.
2. Apabila hadis makbul itu
dua atau lebih namun tanaqid (beda) atau taarud (berlawanan) maka harus harus
ditempuh empat tharikoh atau empat langkah
a. Jamak
Artinya
mengkompromikan hadis taarud dari segi waktu orang dan cara pengamalannya.
Kalau tidak harus, maka kedua-duanya makmul dan disebut mukhtholif.
b. Tarjih
Adalah
mencari nilai lebih atau keunggulan diantara dua hadis makbul; taarud diluar
kriteria yang diunggulkan disebut tarjih yang tidak unggul disebut marjuh.
c. Nasakh
Mencari
waktu wurud antara duluan dan belakangan. Yang belakangan disebut nasikh yang
dukuan disebut mansukh dang hair makmul
d. Tawakuf
Tidak
bisa dijamak tarjih nasakh maka ditunda dulu.
Jadi,
hadis suap menyuap bila hadis larangan suap menyuap yang makbul itu hanya satu
setelah ditakhrij hadisnya dua atau lebih tapi sama (lafdzi dan maknawi) maka
hadis dapat diamalkan atau dipakai sebab muhkam yakni lafadz dan maknanya dan
mudah diamalkan.
8. Ayat al-Qur’an yang menjadi
munasabah dari hadits tersebut dan paparkan asbabul wurudnya.
Sebelum
memaparkan ayat Alquran apa yang menjadi munasabah dari hadits tersebut, kita
harus mengetahui tentang pengertian asbabul wurud. Asbabul wurud adalah
sesuatu yang digunakan untuk membatasi makna hadits dari sisi umum, khusus,
ithlaq, atau naskh.
9. Hukum yang bisa diistimbath
dari hadits tersebut dan apa hikmah yang dapat dipetik dari hadits tersebut.
Apabila
diistimbat maka kita menemukan dua lapadz yakni al-rosyii yang artinya secara
bhasa adalah orang yang menyuap dan al-murtasyii secara bahasa berarti orang
yang diberi suap atau yang menerima suap. Kedua kata tersebut
suap
menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai
aktivitas dan kegiatan dalam beberapa hjadis lainnya suap menyuap tidak
dikhususkan terhadap masalahb hukum saja, tetapi bersipat umum, mari kita
perhatikan hadits riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Amar “Rosulullah SAW
melaknat penyuap dan orang yang disuap” dengan demikian, kapan dan dimana saja,
suap akan yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak . selain itu
larangan islam untuk menjauhi suap tiada lain agar manuasia terhindar dari
kerusakan dan kebinasaan di dunia dan siksa Allah kelak di Akhirat.
10. Masalah-masalah yang menjadi kajian dalam
hadits tersebut.
Sangat
disayangkan suap menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit yang sangat
sulit untuk disembuhkan bahklan disinyalir sudah membudaya. Segala aktivitas
baik yang berskala kecil maupun besar tidak terlepas dari suap menyuap. Ddengan
kata lain sebagaimana dikatakan M.Qurais shihab masyarakat telah melahirkan
budaya yang tadinya munkar atau tidak di benarkan dapat menjadi ma’ruf atau
(dikenal dan dikenal baik)apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang
ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tridak lagi dilakukan orang menuruit
Assyaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak membolehkan pemberian
dan penerimaann sesuatu dari seseorang,kecuali dengan hatri yang tulus dengan
demikian apabila praktek suap menyuap adalah sesuatu yang haram dan terkutuk si
pemberi sedikit ataupun banyak menurutnya telah pula menerima sanksi keharaman
dan kutukan atas suap menyuap tersebut.
11. kesimpulan yang dapat diambil dalam hadits
tersebut
Hadits
diatas adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari Tirmidzi yang menjelaskan
tentang larangan suap menyuap yang memililki isi kandungan bahwa Rosulullah
melaknat orang yang memberi suap dan menerima suap, hadits diatas adalah hadits
marfu taqriri haqiqi
hadits
diatas mengingatkan pada kita agar kita tidak melakukan praktek suap menyuap
yang nantinya akan menjadi sebuah dosa dan akan mendapat laknat dari Rosulullah
SAW.
PENJELASAN:
1.Apa
itu suap?
Suap itu adalah uang ataupun barang yang diberikan untuk
membatalkan sesuatu yang hak atau membenarkan yang batil,dengan pengertian
ini,maka hukumnya haram terhadapkedua belah pihak (pemberi dan penerimanya).
Perbuatan seoerti itu sangat dilarang dalam islam dan
disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan yang haram.Harta yang diterima
dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan
batil .Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“ Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
Mengetahui”(Q.S.Al-Baqarah:188).
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat
karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada di dalam
masyarakat,dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam
menetapkan hukum sehingga hukum dipermainkan dengan uang.akibatnya ,terjadi
kekacauan dan ketidakadilan .Dengan suap,banyak para pelanggar yang seharusnya
diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan ,bahkan lolos dari jeratan
hukum.sebaliknya,banyak pelanggar hukum kecil,yang dilakukan oleh orang kecil
mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para
hakim.Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardhawy
menyindir tentang suap-menyuap dengan kata-katanya:
“Jika anda tidak dapat mendapat sesuatu
Yang anda butuhkan
Sedangkan anda sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
Dan janganlah pesan apa-apa
Juru damai itu adalah uang”
2.Fiqhul
Hadits
Dalam islam suap-menyuap termasuk pelanggaran berat sehingga
Rasulullah SAW pun telah melaknat para pelaku suap,baik penyuap maupun orang
yang disuap,terutama dalam urusan hokum.Selain dalam masalah hukum,dalam
urusan-urusan lain pun,suap-menyuap tetap tidak diperbolehkan dalam Islam.
Akan tetapi,menurut sebagian ulama,menyuap dibolehkan dalam
keadaan terpaksa untuk menghindari kecelakaan atau mendapatkan sesuatu hak yang
tidak ada jalan lain,kecuali harus dengan menyuap.
1)
UNSUR-UNSUR SUAP
Di atas telah
dikemukakan beberapa versi tentang definisi suap, maka di sini dapat
digarisbawahi bahwa unsur-unsur suap adalah sebagai berikut:
Penerima suap,
yaitu orang yang menerima sesuatu dari orang lain baik berupa harta atau uang
maupun jasa supaya mereka melaksanakan permintaan penyuap, padahal tidak
dibenarkan oleh syara’, baik berupa perbuatan atau justru tidak berbuat
apa-apa.
Pemberi suap,
yaitu orang yang menyerahkan harta atau uang atau jasa untuk mencapai
tujuannya.
Suapan, yaitu harta atau uang/barang atau jasa yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan benda dan atau sesuatu yang didambakan, diharapkan, atau diterima.
Suapan, yaitu harta atau uang/barang atau jasa yang diberikan sebagai sarana untuk mendapatkan benda dan atau sesuatu yang didambakan, diharapkan, atau diterima.
2) MACAM-MACAM
SUAP
a. Suap untuk membatilkan yang haq
atau membenarkan yang batil.
Halal itu jelas,
haram itu jelas. Hak itu kekal dan batil itu sirna. Syariat Allah merupakan
cahaya yang menerangi kegelapan yang menyebabkan orang-orang mukmin terpedaya
dan para pelaku kejahatan tertutupi dan terlindungi. Maka, setiap yang
dijadikan sarana untuk menolong kebatilan atas kebenaran itu haram hukumnya.
b. Suap untuk mempertahankan
kebenaran dan mencegah kebatilan serta kedzaliman.
Secara naluri,
manusia memiliki keinginan untuk berintraksi sosial, berusaha berbuat baik.
Akan tetapi, terkadang manusia khilaf sehingga terjerumus ke dalam kemaksiatan
dan berbuat dzalim terhadap sesamanya, menghalangi jalan hidup orang lain
sehingga orang itu tidak memperoleh hak-haknya. Akhirnya, untuk menyingkirkan
rintangan dan meraih hak-haknya terpaksai harus menyuap. Suap-menyuap dalam hal
ini (dilakukan secara terpaksa), menurut Abdullah bin Abd. Muhsin suap menyuap
dalam kasus tersebut bisa ditolerir (dibolehkan). Namun ia harus bersabar
terlebih dahulu sampai Allah membuka jalan baginya.
Sekarang yang menjadi perntanyaan, siapakah yang berdosa apabila terjadi kasus suap-menyuap seperti itu? Yang menyuap atau yang menerma suap? Ataukah keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, menurut jumhur ulama, yang menanggung dosa hanya penerima suap. Kedua, menurut Abu Laits as-Samarqandi berkata, “Dalam kasus seperti ini (suap untuk mencegah kedzaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain demi mencari kebenaran.”
Korupsi baik terhadap umum maupun milik Negara yang dianggap sebagai perbuatan salah/curang diharamkan dalam Islam dan diancam dengan adzab akhirat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 161 :
Sekarang yang menjadi perntanyaan, siapakah yang berdosa apabila terjadi kasus suap-menyuap seperti itu? Yang menyuap atau yang menerma suap? Ataukah keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, menurut jumhur ulama, yang menanggung dosa hanya penerima suap. Kedua, menurut Abu Laits as-Samarqandi berkata, “Dalam kasus seperti ini (suap untuk mencegah kedzaliman) tidak ada masalah jika seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain demi mencari kebenaran.”
Korupsi baik terhadap umum maupun milik Negara yang dianggap sebagai perbuatan salah/curang diharamkan dalam Islam dan diancam dengan adzab akhirat. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 161 :
وَمَا كَانَ النَّبِيُّ
أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلًُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى
كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُوْنَ.
“Tidak mungkin
seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.”
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dikhianati oleh Allah dan Rasulnya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihka manapun selain gajinya sebagai hakim.
Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dikhianati oleh Allah dan Rasulnya. Karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dari pihka manapun selain gajinya sebagai hakim.
Untuk mengurangi
perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim lebih utama diberikan
kepada mereka yang berkecukupan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah
membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sebenarnya, suap menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagaia aktkivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhsuskan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum
Sebenarnya, suap menyuap tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagaia aktkivitas dan kegiatan. Dalam beberapa hadis lainnya, suap menyuap tidak dikhsuskan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum
Misalnya dalam
penerimaan tenaga kerja, jika dilakukan karena adanya besarnya uang suap, bukan
pada profesionalisme dan kemampuan, hal itu diyakini akan merusak kualitas dan
kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa pekerja tersebut
tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan
merugikan rakyat.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada dalam gambar, tetapi mengurangi kualitasnya agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat ditutupi dan tidak dapat tertutupi dan ia tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan tidak tahan lama atau cepat rusak, seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi baru lima tahun saja telah rusak.
Begitu pula suatu proyek atau tender yang didapatkan melalui uang suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada dalam gambar, tetapi mengurangi kualitasnya agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat ditutupi dan tidak dapat tertutupi dan ia tidak merugi, sehingga tidak jarang hasil pekerjaan tidak tahan lama atau cepat rusak, seperti banyak jalan dan jembatan yang seharusnya kuat 10 tahun, tetapi baru lima tahun saja telah rusak.
Dengan demikian,
kapan di mana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak,
dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap tidak lain agar manusia
terhindar dari kerusakan dan kebinasaan di dunia dan disiksa Allah SWT kelak di
akherat.
Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyalir sudah membudaya, segala aktivitas, baik yang berskala kecil maupun besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M.Qurais Shihab bahwa masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi Ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang yang ma’ruf maupun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
Sangat disayangkan, suap menyuap dewasa ini sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit untuk disembuhkan, bahkan disinyalir sudah membudaya, segala aktivitas, baik yang berskala kecil maupun besar tidak terlepas dari suap menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana diungkapkan M.Qurais Shihab bahwa masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi Ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang yang ma’ruf maupun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
B. LARANGAN PEJABAT MENERIMA HADIAH
Dalam Islam,
hadiah dianggap sebagai salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan
atau persahabatan, sebagai mana yang telah disebutkan dalam sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Iman Malik dalam kitab Muwatha dari Al-Khurasany:
“Saling bersalaman
kamu semua, niscaya akamn menghilangkan kedengkian, saling memberi hadiahlah
kamu semua, niscaya akan saling mencintai dan menghilangkan percekcokan.” (H.R
Imam Malik).
Bagi orang yang
diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut
keliatannya hina dan tidak berguna. Nabi bersabda:
“Dari Anas r.a,
bahwa Nabi SAW bersabda,”Kalau saya diberi hadiah keledai, pasti akan saya
terima.” (H.R Turmudzi).
Pada dasarnya,
memberikan hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih
meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah
disunahkan untuk menerimanya.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Contohnya seseorang pejabat atau seseorang pemegang kekuasaan. Hal itu dianjurkan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanyapadahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas untuk diberi hadiah karena masih banyak orang yang membutuhkan hadiah tersebut.
Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Contohnya seseorang pejabat atau seseorang pemegang kekuasaan. Hal itu dianjurkan untuk kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang ingin sekali mengenal bahkan akrab dengan orang-orang yang terpandang, baik para pejabat maupun orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi lainnya. Mereka menempuh berbagai jalan untuk dapat mendekati orang-orang tersebut dengan cara memberi hadiah kepadanyapadahal pejabat tersebut hidup berkecukupan, bahkan tak pantas untuk diberi hadiah karena masih banyak orang yang membutuhkan hadiah tersebut.
Oleh karena itu,
Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun untuk
menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun karena hal itu tidaklah layak dan
dapat menimbulkan fitnah. Disamping sudah mendapatkan gaji dari negara, alasan
pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memiliki
kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut akan memberinya
hadiah.
Dengan demikian,
hadiah yang diberikan kepada para pejabat apabila sebelumnya tidak biasa terima
dinilai sebagai sogokan terselubung. Dengan kata lain, hadiah yang diberikan
kepada seorang pejabat sebenarnya bukanlah haknya. Di samping itu, niat
orang-orang memberikan hadiah kepada para pejabat, dipastikan tidak terdorong
dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia di
hadapan Allah SWT.
Kalau mereka
memang ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang
lebih membutuhkan daripada pejabat tersebut. Jelaslah bahwa mereka menginginkan
balas budi dari hadiah yang diberikannya tersebut, antara lain mengharapkan
agar pejabat tersebut mengingatnya dan mempermudah berbagai urusannya.
حَدَّثَنَا أَبُوْ الْيمَانِ: أَخْبَرَناَ شُعَيْبٌ، عَنِ
الزُهْرِيَ قَالَ: أَخْبَرَنِيْ عُرْوَةُ، عَنْ أَبِيْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ
أَنَّهُ أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اُسْتَعْمَلَ عَامِلاً، فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ،
فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أَهْدِيَ لِي. فَقَالَ لَهُ:
(أَفَلاَ قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمَّكَ، فَنَظَرْتَ أَيُهْدَىْ لَكَ
أَمْ لاَ؟).
ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَشِيَّةَ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهَِ بِمَا هُوَ
أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: (أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ،
فَيَأْتِيْنَا فَيَقُوْلُ: هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ لِيْ، أَفَلاَ
قَعَدَ فِيِْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ: هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ،
فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئاً
إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ، إِنْ كَانَ
بَعِيْراً جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ، وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا
خُوَارٌ، وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ، فَقَدْ بَلَّغْتُ).
فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ، حَتىَّ إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ
إِبْطَيْهِ. قَالَ: أَبُوْ حُمَيْدٍ: وَقَدْ سَمِعَ ذَلِكَ مَعِيْ زَيْدُ بْنُ
ثَابِتٍ، مِنَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَلُوه
(صحيح البخاري
كتاب الإيْمان والنذور باب كيف يمين النبي ص.م)
Diceritakan
dari Abu Yamin telah mengabarkan kepadaku dari Syu’aib dari Zuhriy berkata:
Urwah telah mengabarkan kepadaku dari Abu Humaid As- sa’idi ra bahwasanya dia
memberi kabar bahwa Rasulullah SAW mengangkat seorang aamil atau pegawai untuk
menerima shadaqah/ zakat, kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW
dan berkata: “Ya Rasulullah ini utnukmu dan ini hadiah yang diberikan orang
kepadaku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: mengapakah engkau tidak duduk saja
dirumah ayah atau ibu untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak? Kemudian
rasulullah berdiri pada sore hari sesudah shalat lalu beliau membaca tasyahud
dan memuji Allah SWT yang sudah
selayaknya disandangNya kemudian bersabda: : Ammaba’du, mengapakah seorang
aamil yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata: ini hasil untuk kamu
dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja dirumah ayah atau ibunya
untuk mengetahui Apakah diberi hadiah atau tidak, demi Allah yang jiwa Muhammad
ditangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi) melainkan
ia akan menghadap dihari kiamat memikul diatas lehernya, jika berupa unta
bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembek, maka sungguh aku
telah menyampaikan. Abu Hamid berkata: kemudian Nabi SAW mengangkat kedua
tangannya sehingga aku dapat melihat kedua ketiaknya. Berkata Abu Humaid, benar saya
mendengar hal itu bersama Zaid bin Tsabit dari Nabi SAW. Maka tanyalah kepada
Zaid bin Tsabit.
KANDUNGAN MAKNA HADIS
Nabi SAW mempekerjakan seorang laki-laki maksudnya adalah
seorang laki-laki dari suku Azad yang bernama Ibnu Lutbiyah untuk mengurus
sedekah (zakat).
Sedangkan hadits Abu Hamid, sesungguhnya Nabi SAW mencela
perbuatan Ibnu Luthbiyah yang menerima hadiah yang diberikan kepadanya, karena
kedudukannya sebagai seorang pegawai pemerintah. Kemudian kalimat” mengapa dia
tidak duduk dirukmah ibunya” memberi faidah bahwa sekiranya dia diberi hadiah
dalam kondisi seperti itu, niscaya hukumnya makruh, karena tidak ada factor
yang menimbulkan kecurigaan.
Ibnu Baththal berkata,” dalam hadits ini terdapat keterangan
bahwa hadiah yang diberikan kepad pegawai pemerintah harus dimasukkan ke dalam
kas Negara (baitul maal), dan pegawai yang diberi hadiah itu tidak dapat
memilikinya kecuali jika pemimpinnya [imam] menyerahkan kepadanya. Selain itu,
tidak disukai menerima hadiah orang yang meminta pertolongan.
PERSPEKTIF HADITS LAIN
Orang
yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu
وَقَالَ عُمَرَ ِبِن
عَبْدِالْعَزيز: كَانَتْ الهَدِيَّةُ فِيْ زَمَنِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ واليَوْمَ رِشْوَةٌ
Umar
Bin Abdul Aziz berkata,” hadiah pada masa Rasulullah SAW bernilai hadiah,
adapun pada hari ini adalah suap.”
Keterangan
Hadits:
(Bab orang yang tidak menerima hadiah tertentu karena
sebab tertentu), yakni karena sebab
tertentu yang menimbulkan keraguan, seperti utang atau yang sepertinya.
وَ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيْز(Umar
bin Abdul Aziz berkata… dan seterusnya). Atsar ini disebutkan dengan sanad yang
maushul oleh Ibnu Sa’ad dan didalamnya dia menyebutkan satu kisah. Diriwayatkan
dari farrat bin Muslim, dia berkata
اِشْتَهَيْ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ التُّفَّاحَ فَلَمْ
يَجِدْ فِيْ بَيْتِهِ شَيْئًا يَشْتَرِيْ بِهِ، فَرَ كِبْنَا مَعَهُ فَتَلَقَّاهُ
غِلْمَانُ الدََّيْرِ بِأَطْبَاقِ تُفَّاحٍ، فَتَنَا وَلَ وَاحِدَةً فَشَمَّهَا
ثُمَّ
رَدَّ اْلأَطْبَاقَ، فَقُلْتَ لَهُ فِى ذَلِكَ فَقَالَ : لاَحَاجَةَ لِى
فِيْهِ، فَقُلْتُ:أَلمَ ْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللِه صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَاَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ يَقْبَلُوْنَ الْهَدِيَّةَ؟ فَقَالَ: اِنَّهَا
لأُوْلَئِكَ هَدِيَّةَ وَهِىَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ
(Umar
bin Abdil Aziz ingin memakan apel, namun dia tidak mendapati di rumahnya
sesuatu yang dapat digunakan untuk membelinya. Kamipun menunggang kuda
bersamanya, kemudian dia disambut oleh pemuda- pemuda biara dengan piring-
piring yang beriis apel, umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan
menciumnya, lalu mengembalikannya ke piring- piring yang berisi apel. Umar bin
Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu mengembalikannya
kepiring. Akupun bertanya kepadanya mengenal hal itu. Maka dia berkata,” Aku
tidak membutuhkannya.” Aku bertanya,” Bukankah Rasulullah SAW, Abu Bakar dan
Umar menerima hadiah?” Dia menjawab,” sesungguhnya ia bagi mereka adalah
hadiah, dan bagi pejabat sesudah mereka adalah suap.”)
Abu Nu’aim telah menukil kisah ayng lain melalui sanad yang
mausul dalam kitab Al- Hilyah dari Amr bin Muhajir, dari Umar bin
Abdul Aziz.
Suap adalah sesuatu yang diambil tanpa imbalan, dan orang
yang mengambilnya patut mengambilkan celaan.
Ibnu Al Arabi berkata,” suap adalah semua harta yang
diserahkan kepada seseorang yang memiliki kedudukan demi memuluskan persoalan
yang tidak halal. Orang yang menerima suap disebut dengan murtasyi, orang yang
memberi sogokan disebutkan rasyi, sedangkan orang yang menjadi perantaranya
disebut dengan ra’isy. Sementara itu, telah disebutkan hadits shahih dari Abdullah
bin Amr tentang laknat bagi orang yang menyuap dan orang yang mengambil suap.
Hadits ini diriwayatkan oleh At- Tirmidzi dan dia men-shahih-kannya. Lalu dalam
satu riwayat disebutkan laknat terhadap orang yang menjadi perantara dan orang
yang memberi suap.”
Ibnu al- Arabi menambahkan,” Maksud seseorang yang memberi
hadiah tidak terlepas dari tiga hal; mengharapkan penerima hadiah, mengharapkan
bantuannya, atau mengharapkan hartanya. Adapun yang paling utama adalah yang
pertama. Sedangkanyang ketiga adalah diperbolehkan, karena diharapkan akan
dibalas, melebihi apa yang dihadiahkan, dan terkadang justru disukai jika orang
yang diberi hadiah dalam kondisi membutuhkan dan orang yang memberi hadiah
tidak memaksakan diri. Akan tetapi bila tidak demikian, maka hukumnya makruh.
Terkadang hadiah menjadi sebab timbulnya kecintaa, namun terkadang sebaliknya.
Sementara itu, yang kedua apabila utnuk kemaksiatan, maka tidak diperbolehkan
dan inilah yang dinamakan suap. Bila untuk ketaatan, maka disuaki; namun bila untuk
perkara mubah, maka hukumnya mubah (boleh). Akan tetapi bila orang yang diberi
hadiah bukan orang hakim, sedangkan bantuan yang diharapkan adalah untuk
menolak kezaliman atau menyampaikan kebenara, maka hukumnya adalah mubah
(boleh). Hanya saja disukai bagi orang diberi hadiah tersebut untuk tidak
mengambilnya. Akan tetapi bila yang diberi hadaih adalah hakim, maka dia haram
menerimanya.” Demikian nukilan perkataan Ibnu Arabi.
Makna yang disebutkan Umar bin Abdul Aziz, terdapat pula
dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Athabrani dari hadits
Humaid, dari nabi SAW
ِ هَدَايَا الْعُمَّالٍ غُلُوْلٌ (hadiah-
hadiah untuk para pejabat adalah penghianatan). Dalam sanad-nya terdapat
Ismail bin Abi Ayyasy, sedangkan riwayatnya dari selain penduduk madinah
dikenal lemah, dan hadits ini termasuk salah satunya. Dikatakan pula bahwa dia
meriwayatkan secara maknawi dari kisah Ibnu Lutbiyah (hadits kedua pada bab
diatas)
Sehubungan dengan persoalan ini, dinukil pula dari Abu
Hurairah, Ibny Abbas dan Jabir, yang semuanya dinukil oleh Ath-Thabarani dalam
kitanbnya Al Mu’jam Al Ausath dengan
sanad yang lemah.
C. BATAS
KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
Salah satu kewajiban
seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan
bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan
pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan
pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat
tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan
muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan
keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban
dan keteraturan adalah ketaatan.
Sebagai umat islam kita wajib dan
harus memtaati pemimpin karena ”barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti
dia taat kepada Rosulullah” seperti yang terkandung dalam Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
من أطاعنى فقد أطاع الله ومن عصانى فقد عصى الله ومن يطع الأمير فقد أطاعنى ومن يعص الأمير فقد عصانى .
(رواه متفق عليه)
Artinya :
“Siapa yang taat kepadaku, berarti
ia taat kepada Allah, dan siapa yang durhaka kepadaku, maka berarti ia durhaka
kepada Allah. Dan Siapa yang taat kepada amir (pemimpin), berarti ia taat
kepadaku, dan siapa yang durhaka kepada Amir, berarti ia durhaka kepadaku”. (HR.
Muttafaq Alaih)
Akan tetapi kita harus bisa
membedakan perintah yang baik atau yang mengarah kepada kemaksiatan sebab
mentaati pemimpin itu ada batasannya sesuai hadits berikut ini Sabda Rosulullah
SAW :
Artinya:
“Abdullah bin Umar r.a berkata : Nabi SAW. bersabda : "Mendengar dan taat itu wajib bagi seseorang dalam apa yang ia suka atau benci, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat, maka jika diperintah berbuat maksiat maka tidak wajib mendengar dan wajib taat". (HR. Buhkari dan Muslim)
“Abdullah bin Umar r.a berkata : Nabi SAW. bersabda : "Mendengar dan taat itu wajib bagi seseorang dalam apa yang ia suka atau benci, selama ia tidak diperintah berbuat maksiat, maka jika diperintah berbuat maksiat maka tidak wajib mendengar dan wajib taat". (HR. Buhkari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas Nabi
Muhammad saw. berpesan agar setiap muslim hendaknya mendengar dan mematuhi
keputusan, kebijakan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh para
pemimpin, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan bagi dirinya. Selama
peraturan tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rosul-Nya.
Sebab kunci dari keberhasilan suatu
negara atau organisasi diantaranya terletak pada ketaatan para warga atau
pengikutnya dan pemimpinnya kepada Allah.
Dan apabila kaum muslimin tidak mau
mendengar dan tidak mau mematuhi serta tidak memiliki rasa tanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang terjadi di Negara atupun di organisasi tempat ia
tinggal, maka kehancuranlah yang akan terjadi dan sekaligus menjadi bencana
bagi umat islam.
Seyogyannya, bila pemimpin
memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah dan Rosul-Nya, maka
kita tidak boleh mentaati perintahnya.kepatuhan terhadap pemimpin mempunyai
batasan tertentu yakni selama memimpin dan mengarahkan kepada hal-hal yang
positif dan tidak menuju ke jalan kemaksiatan maka kita wajib mematuhi
perintahnya, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pemimpinitu melarang wanita
muslim mengenakan jilbab; pemimpin yang menyuruh untuk melakukan perjudian dn
masih banyak contoh yang lain.
Dan apabila kita melihat
penyelewengan-penyelewengan pemimpin yang demikian,maka kita harus mengambil
sikap seperti sabda Rosulullah saw. berikut ini :
من راى منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسا نه فان لم يستطع فبقلبه وذلك اضعف الإيمان. (رواه مسلم)
Artinya :
“Barang siapa diantara kamu melihat
kemungkaran, hendaklah mengubahnya (memperingatkannya) dengan tangan, jika
tidak mampu, hendaklah dengan lisannya, jika tidakmampu hendaklah dengan
hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim
No.70)
Kriteria-kriteria pemimpin yang
wajib kita taati :
1.
Islam
2.
Mengikuti perintah-perintah Allah dsan Rosul-Nya
3.
Menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar
4.
Lebih mementingkan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi
5.
Tidak mendzalimi umat Islam
6.
Memberikan teladan dalam beribadah
Dalam Islam kedudukan seorang pemimpin
sangatlah tinggi, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan
ketaatan kepada Allah dan RasulNYA sebagaimana firman Allah SWT.
يـا أيـهـا الـذين أمـنوا أطـيعوا الله
وأطيعوا الـرّسول وأولى الأمـر منكـم .... ( النسـاء : 59)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah dan yang memegang
pemerintahan dari kamu (Al-Nisa :59).
Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam
diwajibkan mentaati para pemimpin mereka baik terhadap aturan-aturan yang
disetujuinya ataupun tidak, sejauh pemimpin tersebut tidak memerintahkan untuk
berbuat kemaksiatan (dosa). Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
لا طـاعة لمخـلوق في معـصية الـخالق
Artinya: Tidak ada ketaatan terhadap
seorang mahluk jika dia mengajak terhadap maksiat terhadap sang pencipta.
Oleh sebab itu jika seorang pemimpin
memerintahkan kita untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariat Islam maka kita
tidak wajib mentaatinya bahkan kita harus menegurnya dengan cara yang
bijaksana.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainnya kepada petugas hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukuman ringan. Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil.
Suap-menyuap sangat berbahaya bagi
kehidupan masyarakat karena merusak berbagai tatanan atas system yang ada di
masyarakat dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam
menetapkan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang.
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai
salah satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan. Bagi
orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut
keliatannya hina dan tidak berguna. Akan tetapi, Islam pun memberi rambu-rambu
tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun
penerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
Adzhabi,
Syamsuddin, 75 Dosa Besar. Media
Idaman Press, Surabaya, tt.
Atharsyah,
Adnan, Yang Disenangi Nabi dan Yang Tidak
Disenangi Nabi. Gema Insani Press, Jakarta 2006.
Bahresy,
Salim, Tarjamah Riyadhus Shalihin. PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986.
Imam Abu Abdillah Muhammad Bin
Ismail Bin Ibrahim Bin Mughirah Bin Bardizhbah Al-Bukhori Al-Ja’fiyyi. Tarjamah
Shohih Bukhari. Semarang : Asy-Syifa’, 1993.
Imam
Abi Asdillah Muhammad Ibnu Ismail sin Israhim bin Bardizh al Bukhari al-
Jakfari, Shohih Bukhori Bairut : Dar Al Fikri, 1401/1981M, Jilid 7.
Ibnu
Hajar al-Asqolani, Fatkul Baari Jakarta : Pustaka Azam, 2007, jilid 14.
Departemen
Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Pen.
Mahkota.
Ibrohim,
Drs.T. 2006.Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis. Solo : Tiga Serangkai.
Suparta,
Drs.H.M. dkk. 2004. Buku Pelajaran Qur’an dan Hadits 3. Jakarta : Listafariska
Putra.
Muhammad,
Abubakar. 1997. Hadis Tarbawi III. Surabaya : Abditama.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIzin copas ya
BalasHapus