Selasa, 16 Juli 2013

Raja & khauf, ikhlas, tawakal, syukur, taubat, khusyuk, tawadhu’, dan tokoh-tokoh sufi di sumatera

BAB I PEMBAHASAN
1.      BERHARAP DAN TAKUT (RAJA’ DAN KHAUF)
            Bagi kalangan kaum dan sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atu optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-qur’an,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengaharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 218)
            Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika haparannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
            Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
1.      Cinta kepada apa yang diharapkannya
2.      Takut harapannya itu hilang
3.      Berusaha untuk mencapainya
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanya ilusi atau khayalan. Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pad waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula, orang yang mengaharap ridha atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
            Berkaitan dengan hal tersebut, Aahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hamba-NYA menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduannya, mereka dapat dekat dengan Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri di masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba dari berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
            Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, sikap raja’ yang berlebihan akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena rasa optimisnya.

Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
            Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan Raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam membersihkan jiwa. Ia terkasan menguaraikan kedua sifat itu dengan etika-etika keagamaan lainnya. Ketika disifati dengan dua sifat di atas, seseorng secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya adlah ketakwaan. Pangkal ketakwaan adalah intropeksi diri (muhasabat an-nafs). Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’. Pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal tentang pengetahuan tentang keduannya adalah perenungan.
            Menurut Al-Muhasibi, khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua siraf itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk itu, ia menganggap ibn Sina dan Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai jenis fana’ atau kecintaan kepada Allah yang berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlisunnah. Al-Muahasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-qur’an pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-qur’an juga jelas berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut  ini yang artinya:
            “sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada didalam taman-taman (surga) dan di mata air sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka. Sesungguhnya mereka itu sebelum di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Meraka sedikit kali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 15=18)

Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh. Tatkala melakukan amal saleh, seseorang berhak mengaharap pahala dari Allah. Inilah yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi sebagaiman digambarkan oleh ayat yan berbunyi:” Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


2.      IKHLAS
A.    Pengertian Ikhlas (Ketulusan)
Ikhlas artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud dan niat lain. Atau mengesakan hanya Allah-lah sebagai tujuan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan mengabaikan pandangan mahluk serta tujuan keduniaan dan senantiasa berkonsentrasi kepada Allah semata.
Ikhlas atau tulus, arti menurut kamus Tasawuf adalah bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Syed Ali Bin Uthman Al Hujweri menggambarkan bahwa ikhlas adalah perbuatan akan bernilai apabila ada ke ketulusan di dalamnya. Ikhlas itu seperti jiwa di dalam tubuh. Badan tanpa jiwa adalah mati, seperti batu. Keikhlasan adalah aspek bathiniah sedangkan perbuatan adalah aspek lahiriah. Apabila kedua aspek ini berpadu maka akan pasti akan menghasilkan kesempurnaan. Ke duanya saling melengkapi dan saling bergantung. Jika seseorang tulus selama satu tahun tapi tanpa ditunjukkan dengan perbuatan, maka tak ada artinya. Sebaliknya, jika sesorang melakukan perbuatan tanpa ketulusan, seperti dia telah pergi entah ke mana. Suatu perbuatan akan dinilai sebagai perbuatan apabila didalamnya ditemukan keikhlasan.
Menurut Abd Al Karim Ibn Huwazin al Qusyayri keikhlasan berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya obyek persembahan. Ini berarti menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian atau penghormatan diri manusia. Tepatnya "Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari kesadaran apapun terhadap sesama mahluk." Dikatakan juga, "Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari kepedulian terhadap pandangan sesama manusia".
Firman Allah dalam surat Al Ikhlas 1) katakanlah "Dialah Allah yang Maha Esa, 2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu 3) Dia tidak beranak dan tidak pula diberanakkan 4) dan tidak ada satu orangpun yang setara dengan Dia.
Disebut Al Ikhlas yang artinya "Memurnikan keesaan Allah" karena surat ini sepenuhnya menegaskan kemurnian, keesaan Allah dan menolak segala kemusyrikan.
            Abu Utsman al Maghriby menyatakan bahwa ,"Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan karena perbuatan mereka sendiri. Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya
Itulah ikhlasnya kaum pilihan".
               Menurut ulama yang disebut ikhlas itu ada dua, yaitu keikhlasan beramal dan keikhlasan mencari pahala. Keiklasan beramal adalah keinginan mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan ikhwal-Nya dan menyambut seruan-Nya. Adapun yang mendorong motif ini adalah keyakinan yang benar. Lawan keiklasan dalam beramal adalah kemunafikan.
Adapun keikhlasan mencari pahala adalah keinginan memperoleh manfaat akhirat dengan amal kebajikan. Lawannya adalah riya. Jadi riya adalah keinginan memperoleh dunia dari amalan akhirat.
Ikhlas merupakan hal yang sangat prinsip dalam ibadat. Ikhlas adalah tindakan dan perbuatan murni yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Secara etimologi, ikhlas sering diertikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri hal yang menjadi tujuan. Dalam ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun tindakan.
Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky Al-Hasani dalam kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai Al-Manjiyyat yaitu sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa saja yang mengamalkannya. Ikhlas menurutnya identik dengan Iman, sambil mengutip QS. 17: 19 yang artinya, “Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa motivasi orang yang beriman (baca: ikhlas) adalah kehidupan Akhirat serta bersungguh-sungguh untuk meraihnya
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil apapun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ialah ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal kecuali disertai keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.” HR. An-Nasai
Seorang sufi membersihkan amal perbuatannya daripada ‘ujub, riya’, hubb al-dunya, hasad, takabbur dan sebagainya dengan mengerjakan amal soleh semata-mata kerana Allah maka dia disebut sebagai seorang mukhlis (beramal dengan penuh keikhlasan) dan perbuatannya itu adalah ikhlas.
 Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan soleh. Ia merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu adalah rahsia yaitu keikhlasan. Allah berfirman yang bermaksud: “Kepada Engkau saja, kami menyembah dan kepada Engkau saja kami memohon pertolongan.”
B.     Bentuk keikhlasan dalam Perbuatan/Amalan
 Keikhlasan, apabila ditinjau dalam bentuk realiti amalan, maka ia dapat dibahagi kepada tiga peringkat, yaitu:
1)      tidak melihat amalan sebagai amalan semata-mata yaitu tidak mencari balasan daripada amalan dan tidak puas terhadap amalan; malu terhadap amalan di samping sentiasa berusaha sekuat tenaga.
2)      menjaga amalan dengan sentiasa dan tetap menjaga kesaksian serta memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan oleh Allah SWT.
3)      memurnikan amalan dengan melakukan amalan berasaskan ilmu serta tunduk kepada kehendak Allah
Keikhlasan bukanlah hal yang statik yang sekali wujud akan sentiasa bertahan selamanya di dalam diri manusia. Ia adalah suatu yang dinamis yang sentiasa menuntut kesungguhan pemeliharaan dan peningkatan. Keikhlasan menjadi langkah bagi manusia untuk menumbuh kembangkan potensi sedia ada yang akan memberi kesan kepada amalan dan teruji dalam kualiti maupun kuantiti.

C.    Ciri-Ciri orang yang Ikhlas ( Mukhlisin)
Suatu hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu dia akan diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,” Rasul bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” HR. Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang berharga , antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para Mukhlishin yaitu:
1.      Selalu berbuat baik walaupun manusia membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: ”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” QS. 40: 14
2.      Mendasari setiap amal shalihnya dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT
3.      Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah mengatakan: ”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq, na’udzubillahi min dzalik.
D.    Hal-hal yang Merusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
1.      Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
2.      Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
3.      'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengaN makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy'
Imam Al-Ghazali juga mengemukakan tentang pertarungan antara ikhlas dan riya ini dan membaginya menjadi tiga jenis dorongan dan akibatnya, yaitu;
  1. Jika pendorong amalnya (ikhlas) sama kuat dengan dorongan nafsunya, maka kedua-duanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dan juga tidak berdosa.
  2. Jika dorongan riya lebih kuat dan menang, jadilah amalannya tidak bermanfaat, malah mengakibatkan adzab baginya. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih ringan dibanding amal yang semata-mata riya.
  3. Jika niat bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah lebih kuat dibanding dengan yang lainnya, maka ia mendapat pahala dari kekuatannya memelihara keikhlasan tadi.

E.     Cara Memelihara Keikhlasan
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap dalam hati setiap mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di antaranya:
  1. Dengan meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan didengar Allah SWT dan kelak Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi.
Dan yang sering tidak kita sadari adalah penyimpangan niat dari ikhlas lillahi Ta’ala menjadi riya. Dalam hadis Qudsi dikemukakan: ”Kelak pada Hari Kiamat akan didatangkan beberapa buku catatan amal yang telah disegel. Lalu dihadapkan kepada Allah SWT tetapi kemudian Dia berfirman: ”Buanglah semua buku-buku ini !” Malaikatpun berkata: ”Demi kekuasaan-Mu, kami tidak melihat didalamnya selain kebaikannya saja.” Lalu Allah berfirman; “Sesungguhnya amalan yang memenuhinya dilakukan bukan karena Aku, dan Aku tidak menerima kecuali apa yang dilakukan karena mencari keridlaan-Ku.” HQR. Al-Bazzar & at-Tabrani.
  1. Memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan serta segeralah mensucikan diri dengan bertaubat dan meluruskan kembali niat baik tadi. Firman Allah: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki amal mereka serta berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah bersama orang yang beriman dan kelak Allah memberikan kepada orang yang beriman pahala yang besar.” QS 4; 146
  2. Berusaha membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.“ QS. 18: 110.
Kehati-hatian ini sebagai cerminan sikap ikhlas kita, meskipun tidak jarang kita khilaf dan menyimpang dari niat semula. Namun, dengan memahami seluk beluk penyakit hati ini, diharapkan kita dapat mengambil sikap yang benar.
  1. Memohon petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam ikhlas. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik yang tersembunyi, sebagaimana diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah melakukan syirik, karena Allah ‘azza wajalla berfirman (dalam Hadits Qudsi):

3. TAWAKAL
A.    Hakikat Tawakal.
Dari segi bahasa tawakkal berasal dari “tawakala” yang memeliki arti menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan (munawir 1984-1987),. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT.
Tawakal ialah membebaskan hati dari ketergantungan kepada selain Allah SWT, dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada-Nya . Firman Allah
Yang artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. ( QS. Hud/ 11:123).[1][1]
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi mereka adalah:
1.      Sari al-saqati, Tawakkal adalah: Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apapun melainkan daripada Allah semesta alam.
2.      Menurut Imam Ghazali bahwa ia telah menerangkan tentang hakikat tawakal adalah: merupakan suatu keadaan jiwa yang telah lahir dari tauhid juga lahir pengaruh tauhid ini dalam perbuataanya.
3.      Ibnu Qoyim al-Jauzi “Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya

B.     Macam-macam Tawakal
Tawakal kepada Allah ada dua macam, yakni sebagai berikut:
1. Tawakal dalam mencari kebutuhan dan keberuntungan duniawi, serta dalam menolak kemudharatan dan kesulitan.
2.   Tawakal dalam meraih apa yang dicintai oleh Allah berupa iman, keyakinan, jihad, dan dakwah.
Diantara kedua macam tawakkal tersebut, terdapat karunia yang tiada terhitung. Jika seorang hamba bertawakal dalam meraih poin ke-2 ( keimanan dan keyakinan, jihad, dan dakwah) dengan sebaik-baik tawakal maka Allah Azza wa jalla akan menjaminnya terhadap poin pertama ( kebutuhan dunianya) dengan jaminan yang sempurna dan utuh. Jika seorang hamba bertawakal dalam meraih keberuntungan duniawi atau dalam menolak kesulitan dan bencana, ia pun akan dijamin oleh Allah ( dengan mendapatkan apa yang diinginkannya itu), tapi ia tidak memperoleh poin yang kedua. ( keyakinan, iman, dan jihad). Yang dicintai Allah.
Jadi, tawakal yang paling baik ialah tawakal dalam meraih atau mempertahankan hidayah dan tauhid dalam mengikuti RasulluAllah serta berjihad memerangi kebatilan.

C.    Tawakkal terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
1.      Tingkat Bidayah ( pemula) :tawakkal dalam tingkat hati yang selalu merasa tentram terhadap apa yang sudah  dijanjikan Allah.
2.      Tingkat Mutawassittah ( pertengahan) : tawakla pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan segala urusan kepada Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya.
3.      Tingkat nihayah ( terakhir) : pada tingkat ini terjadi penyerahan diri seorang pada rida atau merasa lapang menerima segala ketentuan Allah.

D.    Tawakal Bukan Pasrah
Banyak orang yang menyangka bahwa tawakal itu adalah pasrah secara keseluruhan, maka ini adalah anggapan yang tidak benar. Akan tetapi seorang mukmin jika beribadah kepada Allah mereka bertawakal, tetapi tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh yakni tawakal adalah sekedar ucapan di bibir tanpa dipahami akal, membuang sebab-sebab, tidak mau kerja, merasa puas dengan kehinaan dibawah bendera tawakal kepada Allah ta’ala, dan ridlho dengan takdiryang terjadi padanya. Bahkan seorang mukmin memahami bahwa tawakal itu merupakan bagian dari imannya dan aqidah ialah ta’at kepada Allah dengan menghadirkan semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang hendak ia kerjakan. Ia tidak berambisi kepada buah tanpa memberikan sebab sebabnya. Perhatikan dalil-dalil berikut
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.(Qs.Thalaq:3)[2][3]
Dalam ayat ini Allah berjanji akan memberikan kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal termasuk rizki. Apakah artinya seseorang tidak berupaya dan tidak kerja lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit ? Apakah ada orang yang berkeinginan memiliki anak tetapi tidak pernah mengumpuli istrinya diberi anak ? Tentu tidak demikian.
Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya orang yang ingin punya anak harus beristri dan mengumpuli istrinya. Jadi Allah memberi rizki kepada seseorang dengan upaya usaha yang telah diupayakannya.
Rosulullah SAW juga bersabda yang artinya :
Dari umar bin khathab, rasulullah bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (Shahih, Tirmidzi 2344 dan berkata,hadist hasan shahih, Ibnu Majah 4164, Ahmad, dishahihkan al Akbani)
Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makan pada pagi harinya dan kembali pada sore harinya, maka Allah menjamin dengan memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur saja disarang sambil menunggu makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Begitu pula seharusnya manusia, apalagi dia diberi kelebihan yang sangat banyak disbanding seekor burung.

E.     Keutamaan Bertawakkal
1)      Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman dan terwujudnya amal shaleh
Ibnul Qoyyim menyatakan, “Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakkal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagaimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali di atas pondasi tawakkal.” (Dinukil dari Fathul Majid 341)
2)      Tawakkal merupakan bukti iman seseorang Allah berfirman, yang artinya: “Bertawakkal-lah kalian hanya kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23). Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal hanya kepada Allah merupakan bagian dari iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.
3)      Tawakkal merupakan amal para Nabi ‘alahimus shalatu was salam
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan satu kalimat: “hasbunallaah wa ni’mal wakiil” yang artinya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan Dia sebaik-baik Dzat tempat bergantungnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alahis shalatu was salam ketika beliau dilempar ke api. Dan juga yang diucapkan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah arab telah bersatu untuk menyerang kalian (kaum muslimin)…” (HR. Al Bukhari & An Nasa’i).
4)      Orang yang bertawakkal kepada Allah akan dijamin kebutuhannya
Allah berfirman, yang artinya, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (QS. At Thalaq: 3)

F.  Manfaat Tawakal kepada Allah SWT
1.      Dicukupkan Rizkinya dan merasakan ketenangan. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. " (At Thalaq :3).
2.      Dikuatkan dan dijauhkan dari Syetan. "Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya"(An Nahl:99)
3.      Bertawakal kepada Allah bukan berarti meninggalkan usaha untuk mencari rizki dan tidak berobat. Nabi Allah, Muhammad SAW sendiri merupakan orang yang paling takut dan paling bertawakal kepada Allah, akan tetapi beliau sendiri berusaha untuk mencari rizki dengan cara berdagang. Dalam haditsnya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, saya ikat (hewan tunggangan saya) lalu bertawakal atau saya lepas lalu bertawakal?" Beliau menjawab: "Ikatlah lalu bertawakal"

4.      SYUKUR

A. Pengertian Syukur Menurut Bahasa dan Istilah
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,danwa syukuran yang berarti berterima kasih keapda-Nya.
Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih.
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari katasyakara, yaskuru, syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya.
Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.
B. Pengertian Syukur dalam Alquran
Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai penafsirannya masing-masing.
1.      Surah al-Furqan, 25/042: 62
Artinya:
Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini tergolong Makkiyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya bahwa Allah telah membeberkan beberapa dalil tauhid dan menunjuk kepada beberapa tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam alam yang membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali menjelaskan perkataan dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka telah menyaksikan segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan sesatnya malah berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah dan tidak dapat mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka membantu para penolong, setan dan menjauhi para penolong ar-Rahman. Jika kau heran terhadap sesuatu, maka heranlah terhadap perkara mereka, karena kejahilannya telah sampai kepada membahayakan orang yang datang untuk memberikan kabar gemberia tentang kebaikan yang meyeluruh jika mreka menaati Tuhan, dan mengingatkan mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika mereka mengingkari-Nya. Lebih dari itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah itu.
Allah juga memerintahkan kepada rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman dan siksaan mereka, tetapi hendaknya beliau bertawakkal kepada Tuhan, bertasbih seraya memuji-Nya.
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya.
Dengan demikian diketahui bahwa ayat yang berkenaan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi اراد شكورا Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.
Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-Nya.
Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmatRabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.
Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah bersyukur atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang ciptaan-Nya.
2. Surah Saba, 034/058 :13
Artinya:
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).
Ayat ini tergolong surah Makkiyah yang tidak ditemukan asbab al-Nuzul, ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan kepada Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat istana-istana yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam. Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.
Syukur itu bisa berupa perbuatan begitu pula bisa berupa perkataan dan bisa pula berupa niat, sebagaimana dikatakan:
أحديكم النعماء مني ثلاث يدي زلساني و الهير المحيحيا.
Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.
Ayat yang berkaitan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah lafal yang berbunyi:
شكرا- الشكور
Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukur di atas adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.
Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.
Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukuradalah berterima kasih atas segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.
Sedangkan Depertemen agama RI menyebutkan arti kata dasarasy-syukur adalah bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan Allah kepada hamba-Nya dengan amal saleh dan menggunakannya sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah berterima kasih dengan bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.
3. Surah al-Insan, 076/098: 9

Artinya:
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Ayat ini tergolong Madaniyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab al-nuzul), ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan dan lain-lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian berterimakasih kepada-Ku, dengan demikian diketahui bahwa ayat yang ada kaitannya dengan arti syukur dadlam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi:
شكورا
Menurut al-Maragi arti kata syukur di atas adalah berterimakasih kepada Allah swt. Sementara Ibn Katsir mendefenisikan syukur itu adalah ucapan terima kasih. Hal senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din ‘Abd ar-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, syukur adalah berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya. Apakah mereka benar-benar mengucapkan hal yang demikian ataukah hal itu telah diketahui oleh Allah swt, kemudian Dia memuji kalian, sesungguhnya dengan masalah ini ada dua pendapat.
Hal senada dikemukkan oleh Departemen Agama RI bahwa syukur adalah ucapan terimakasih. Hal ini didukung pengertian secara bahasa, bahwa syukur adalah berterima kasih kepada-Nya. Berasal dari kata شكر – يشكر – سكرا yang berarti berterimakasih. Berdasarkan penafsiran keempat mufasir di atas maka dapat disimpulkan bahwa syukur adalah berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya. Demikianlah uraian tentang pengertian syukur dalam Alquran dengan melihat beberapa penafsiran mufasir terhadap ayat yang telah ditentukan sebelumnya.
C. Macam-macam syukur
Al-Raghib (tt, 265), membagi syukur kepada tiga macam;
1.      Syukr al-Qalb (Syukur hati)
2.      Syukr al-Lisân (Syukur lidah)
3.      Syukr sâiri al-Jawârih (Syukur semua anggota badan). Syukur hati, yaitu syukur dengan cara mengingat-ingat ni’mat. Syukur Lidah, yaitu memuji kepada yang memberi ni’mat. Syukur anggota badan, yaitu membalas ni’mat sesuai dengan kepatutan (kepantasannya).
1. Syukur qalbi.
Dilakukan dengan mengingat-ingat ni’mat atau meng-gambarkan ni’mat yang telah diberikan Allâh dengan perasaan hati. Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya kekayaan, dulu tidak bekerja sekarang dapat pekerjaan, dulu sakit-sakitan sekarang ada dalam kesehatan, kita cukup sandang dan pangan sementara orang lain hidup dalam kesulitan. Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih bersyukur kepada pemberi ni’mat. Al-Maraghi (I:29) menyebutkan, syukur dengan hati itu dengan melahirkan ketulusan, kemurnian hati dan rasa cinta kita pada Allâh (al-Nashu wa al-Mahabbah).
2. Syukur Lidah.
Yaitu bentuk syukur yang diucapkan dengan lisan, baik kepada Allâh, juga kepada sesama manusia. Syukur lisan kepada Allâh antara lain kita mengucapkan kalimat al-Hamdulillah. Ibnu Abbas menyebutkan al-Hamdulillah adalah kalimat syukur, jika hamba menyebut al-Hamdulillah, Allâh Swt berfirman, Syakaranî ‘Abdî. Pada kesempatan lain Ia mengatakan al-Hamdu adalah al-Syukru dan al-Iqrâru bini’amihi wa hidâyatihi. Dan Jalaludin al-Suyuthi (I:30) mengutif riwayat Ibnu Jarir dan al-Hâkim, menyebutkan hadits Nabi Saw, “Rasulullah Saw bersabda, apabila kalian mengucapkan “al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin” dengan demikian engkau telah bersyukur kepada Allâh dan Dia akan menambah ni’mat-Nya” Dan syukur lisan kepada sesama manusia dilakukan dengan mengucapkan kata-kata pujian, kata yang baik (al-Madhu-Al-Tsana`u) terhadap orang yang berbuat ihsan (baik), sebagai ungkapan rasa syukur (Al-Maraghi, I:29)
3. Syukur anggota badan.
Dilakukan dengan membalas ni’mat atau kebaikan dengan kepatutan atau kepantasan yang layak. Syukur Jawarih kepada Allâh, dilakukan dengan membalas ni’mat Allâh dengan ibadah kepada Allâh. Untuk itu Ibnu al-Mundzir dalam al-Suyuthi (I:31) menyebutkan, “Shalat itu adalah syukur, shaum juga syukur, seluruh kebaikan yang dilakukan atas dasar karena Allâh itu adalah syukur.”
Tiga dimensi Syukur
Syukur bisa dikatakan sempurna bila telah memenuhi 3 kriteria, yaitu:
1. Mengetahu semua nikmat yang Allah berikan, seperti nikmat iman, Islam dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya sehingga benar-benar menjadikan Allah sebagai pelindung dan senantiasa hadir dalam hatinya, dengan meyakini bahwa kesuksesan dan segala bentuk kemewahan semua berasal dari Allah, kita hanya diberi pinjaman sementara di dunia.
2. Mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji seperti alhamdulillah, asy-Syukrulillah atau ucapan lainnya yang memiliki arti yang sama.
3. Nikmat Allah yang ada, bukan untuk dirasakan sendiri melainkan untuk berbagi dengan orang lain, seperti sedekah, infaq dan menolong fakir miskin, itu semua kita lakukan agar kita selamat dari ujian dan amanah yang kita hadapi di dunia sehingga kelak harta, tahta dan kekayaan kita menjadi penolong besok pada hari penghitungan amal di yaum mahsyar nanti.








5.      TAUBAT
A.    Pengertian Taubat
Ditinjau dari segi bahasa, taubat adalah ism mas}dar yang berasal dari fi’l bermakna  yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah, khususnya ulama tasawuf, mereka berbeda pendapat. Menurut al Muhasibi,2 taubat adalah penyesalan terhadap perbuatanperbuatan jelek pada masa lalu dan berkeinginan tidak akan mengulanginya lagi, serta menghindar dari hal-hal yang mengajak untuk berbuat dosa. Untuk menguatkan pandangannya, al-Muhasibi mengutip sebuah ayat al Qur’an:
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui . Kesucian jiwa seorang hamba karena bertaubat itu lebih utama dari pada seorang hamba yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sunnah dan kebajikan lainnya tetapi tetap berbuat maksiat. Menurut al-Muhasibi hal itu karena :
a.       jiwa yang terkotori kenikmatan maksiat tidak akan menumbuhkan keikhlasan dalam hati.
b.      manusia dituntut untuk meninggalkan semua kejelekan tanpa terkecuali.
c.       meninggalkan kejelekan akan menjadikan manusia berada dalam kebaikan, seperti: orang yang bertaubat dari takabur menjadikan ia orang yang tawadu’; orang yang bertaubat daari sifat bakhil menjadikan ia seorang yang mulya; dan bertaubat dari kejelekan-kejelekan lainnya menjadikan ia kebalikan dari sifat-sifat jelek tersebut.
d.      apabila kabaikan tercampuri kejelekan maka yang nampak adalah kejelekan.Sedangkan menurut al-Jaila>ni> (470 – 561 H),7 taubat adalah kembalinyaseorang hamba dari perbuatan yang tercela menurut syara’ menuju perbuatanyang terpuji menurut syara’, serta meyakini bahwa dosa dan maksiat adalahdua hal yang menghancurkan dan menjauhkan seorang dari Allah SWT dan surganya dan menjauhi keduanya penyebab dekatnya hamba dengan Allah SWT dan surganya. Lebih jauh lagi, dalam hal ini al-Jailani menyatakan: (Wahai kaumku) berebutlah dan capailah pintu kehidupan selama masih terbuka, karena dalam waktu dekat akan tertutup untukmu. Berebutlahuntuk mencapai pintu taubat, masuklah kalian didalamnya, selama masih terbuka bagi kalian. Berebutlah untuk mencapai pintu do’a, selama masih terbuka bagi kalian.
Berebutlah kalian untuk mencapai pintu, berdesa-desaklah dengan saudara saudara kalian yang shalih, selama pintu tersebut masih terbuka bagi kalian.
Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah dilakukan.
Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa.
Karena Allah berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
B.     Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang
Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman,
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ
“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)
C.    Berbagai Keutamaan Taubat
Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:
Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan.
Allah ta’ala berfirman
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya.
Allah ta’ala berfirman
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ
“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)
Allah ta’ala juga berfirman
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima
Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.
Allah ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً
“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)
Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ عَمِلُواْ السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)
Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً لَّهُمْ
“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At Taubah: 74)


Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.
Allah ta’ala berfirman,
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً عَظِيماً
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)
D.    Taubat Nasuha
Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin adalah taubat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." QS. at-Tahrim: 8
Kemudian apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna: bersih. Dikatakan dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung campuran. Sedangkan kesungguhan dalam bertaubat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah. Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan kata al-gisysy-(palsu).
E.     Sekadar Bicara Taubat dengan Lidah Bukan Taubat
Taubat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah taubat kepada saya". Kiyai itu akan menjawab: "ikutilah perkataanku ini!": "aku taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat!.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya taubat itu.
6. KHUSYU’
A.    Pengertian Khusyu’

1.      SECARA BAHASA
 kata khusyu’ memiliki beberapa arti yang sama:
Tunduk, Pasrah. Merendah Atau Diam
Artinya mirip dengan kata khudu’. Hanya saja kata khuduk’ lebih sering digunakan untuk anggota badan, sedangkan khusyu’ untuk kondisi dan gerak-gerik hati (Lihat Mu’jamu Maqasiyisi al-Lughah: II/152, Bashairu Dzawi At-Tamyiz: II/541-543, Tafsir Al-Baghwi: III/301, Tafsir Abi As-Su’ud: VI/123 dan Fathul Bari: II/225)
Ø  RENDAH PERLAHAN, BIASANVA DIGUNAKAN UNTUK SUARA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
# “Dan (khusyu’) merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja.” (QS. Ath-Thaha: 108)
Ø  DIAM, TAK BERGERAK.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
# “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak, dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.” (QS. A1-Fushilat: 39)
2.      MENURUT ISTILAH
Khusyu’ artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang berfungsi menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan keangkuhan, kesombongan dan sikap tinggi hati.
Dengan itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati. Ia hanya bergerak sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan kehendak-Nya. (Lihat “A1-Khusyu’ fi Ash-Shalah” oleh Ibnu Rajab Al-Hambali)
Adapun pengertian khusyu’ di dalam shalat:
# “Kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk pasrah di hadapan keagungan Allah. Kemudian semua, itu membekas dalam gerak-gerik anggota badan yang penuh khidmat dan konsentrasi dalam shalat, bila perlu menangis dan memelas kepada Allah; sehingga tak memperdulikan hal lain.” (‘Lihat Al-Khusyu’ karya Al-Hilali)
Pengertian khusyu’ tersebut diambil dari firman Allah:
# “..yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya..” (QS. Al-Mukminun: 1-2)
Mengenai makna kekhusyu’an itu, Ibnu Abbas menandaskan: “Artinya penuh takut dan khidmat.” A1-Mujahid menyatakan: “Tenang dan tunduk.” Sementara Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan:
# “Yang dimaksud dengan kekhusyu’an di situ adalah kekhusyu’an hati.
B.     Khusyuk Dan Tumakninah  Dalam Shalat

     Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim, karena ia sedang menghadap dan bermunajat kepada Rabbnya yang Maha tinggi dan Maha Agung, oleh karena itu hendaknya setiap dari kita berusaha untuk meninggalkan segala kesibukan duniawi dan menghadapkan wajah kita kepada Allah dengan penuh khusuk dan tunduk mengharapkan keridhoan-Nya, akan tetapi banyak diantara kita yang merasakan hilangnya atau berkurangnya khusyu dalam shalat kita, dan hal itu depangaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah:
-          Karena kita tidak memahami makna doa-doa dan bacaan yang ada dalam shalat.
-          Tidak merenungi isi dan kandungan shalat kita.
-          Banyaknya beban pikiran atau urusan yang belum terselesaikan ketika kita hendak melakukan shalat.
7.      TAWADHU’
Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yg sangat terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahka h kita memilikinya?
Merendahkan diri adl sifat yg sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adl ketundukan kepada kebenaran dan menerima dari siapapun datang baik ketika suka atau dlm keadaan marah. Arti janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adl takabbur sifat yg sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dgn sabdanya: “Kesombongan adl menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dlm rangka menolak atau mengingkari berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yg diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yg terkutuk? Dan apa yg diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dgn semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala krn tdk memiliki sikap tawadhu’ dan sebalik justru menyombongkan dirinya.
Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dlm karya-karya mereka baik dlm bentuk penggabungan dgn pembahasan yg lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yg membagi tawadhu’ menjadi dua:
1.      Tawadhu’ yg terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tdk mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2.      Tawadhu’ yg dibenci yaitu tawadhu’- seseorang kepada pemilik dunia krn menginginkan dunia yg ada di sisinya. .





8.      TOKOH-TOKOH SUFI DISUMATERA
1.      Hamzah Fansuri: Sufi-Pujangga dari Sumatera                     
Dikenal sebagai sufi kontroversial. Ditentang oleh ulama sezamannya, kilaunya terus mengemuka. Disebut sebagai pelopor tasawuf falsafi Nusantara. Pemikiran tasawufnya mendalam. Kritiknya atas kehidupan sosial, politik, dan keagamaan sangat tajam.
Sosok Hamzah Fansuri dalam wacana tasawuf Nusantara memang fenomenal. Ia banyak menuai kontroversi. Kehidupannya juga penuh misteri. Sampai saat ini, belum ada data valid dan argumentatif yang bisa mengantarkan pada kongklusi pasti tentang masa dan perjalanan hidup Hamzah Fansuri. Meskipun telah banyak studi dan penelitian yang dilakukan oleh kalangan orientalis maupun intelektual muslim untuk menguak sejarah kehidupannya
Miskinnya data tersebut bisa jadi karena kehadirannya banyak ditentang oleh berbagai kelompok dominan saat itu. Yakni, kelompok kaum sufi yang (bagi Fansuri) melaksanakan ajaran-ajaran menyimpang, kelompok ulama dan fuqaha yang memandang tasawuf sebagai ajaran sesat dan menyesatkan karena dianggap telah keluar dari agama, dan kelompok penguasa dan orang-orang kaya yang tenggelam dalam kenikmatan duniawi, yang melalaikan mereka dari nikmat Allah.
Fansuri sendiri adalah penganut tasawuf falsafi. Maka, wajar kalau kemudian ia mengalami banyak penolakan dari berbagai pihak. Meski tak sedikit juga yang mendukungnya. Apalagi, ia termasuk seorang ulama yang kritis. Tak segan ia mengritik kelakuan para penguasa yang dipandangnya telah menyimpang.
Selain seorang sufi terkemuka, Hamzah Fansuri dikenal juga sebagai sastrawan andal. Ali Safi Husayn, sebagaimana dikutip Schimmel (1982) menyatakan bahwa puisi-puisi Hamzah Fansuri tergolong dalam karya sufistik yang agung. Menurut dia, sajak-sajak Hamzah tergolong syair al-kasyf wa al-ilham. Yaitu puisi yang berdasarkan kasyf yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi dengan tamsil-tamsil erotik yang berkenaan dengan kemabukan, kefakiran, dan ketelanjangan mistik.
2.      Sufi Legendaris dari Nangroe Aceh

            Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
            Syamsuddin Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumberakuratyangdapatdirujuk.
            Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai.
PERANAN DAN PENGARUHNYA
Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.

KARYA-KARYANYA
            Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:


1.      Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2.      Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3.      Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
4.      Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
AJARAN    TASAWUFNYA
      Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud.
Abd. Al-shamad al-palimbani
Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia
M. Kursani Ahmad
Lebih lanjut menurut antropologi asal Jepang ini, bahwa ulama biasanya menjabarkan doktrin Islam melebihi jangkauan georafis dan genarasi. Tugas mereka adalah  mengajarkan seperangkat keyakinan agama, sistem nilai dan amal Abstrak.
Proses masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia sangat terkait dengan sejarah dan pemikiran tasawuf atau tarekat. Para sejarahwan menilai bahwa pemikiran Islam pertama yang disebarkan oleh para penyebar Islam pertama di Indonesia adalah ulama-ulama yang mempraktikkan moral-moral tasawuf atau tarekat.
Abd al-Shamad al-Palimbani adalah salah seorang ulama sufi yang terkenal di Sumatera, seorang pelopor tarekat al-Sammaniyah  di Indonesia.
Tarekat al-Sammaniyah adalah termasuk salah satu tarekat Muktabarah di Indonesia, yang dipercayai menganut paham tasawuf Sunni, yang diajarkan oleh Imam Ghazali dan sufi-sufi moderat lainnya.  Melalui Tarekat al-Sammaniyah ini beliau  banyak mempunyai murid yang tersebar di daerah-daerah lain di Nusantara  ini. Dengan ajaran Ratib Samman yang dikembangkan oleh Abd. al-Shamad al-Palimbani  mengandung  pendekatan ritual vertical kepada Allah, tetapi juga mempunyai pengaruh horizontal dalam memerangi kekufuran dan ketidak adilan oleh kaum kolonial ketika itu.  
Riwayat Hidup al-Palimbani dan Karyanya Nama lengkap  adalah Abd.  al-Shamad bin Syekh Abd. Jalil bin Syekh Abd. Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani, dilahirkan di Palembang 1116 H 1704 M. Ayahnya berasal dari keturunan Arab Yaman,  sebagai guru agama di Palembang, kemudian ke Kedah dan diangkat menjadi mufti. Setelah pulang ke Palembang  Syekh Abd. Jalil kawin dengan Raden Ranti, dari perkawinan ini melahirkan Abd. Shamad.  (M. Laily Mansur,  2002: 277)  Sebelumnya Syekh Abd. Jalil memperistri Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa di Kedah. ( Tim Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997: 78).
Al-Palimbani awalnya  belajar  di desa tempat kelahirannya.  (M. Laily Mansur, 2002: 277)  Dan meneruskan  belajar  di Kedah dan Petani di sebuah pondok lembaga pendidikan tradisional Islam setempat, kemudian ayahnya mengirimnya belajar ke Arabia. ( Azyumardi Azra, 2004:307).
Kegiatan terpenting yang dilakukan al-Palimbani dalam upayanya menyebarkan ajaran Islam dan meningkatkan pengetahuan  keagamaan masyarakat ialah membuat karya tulis yang meliputi masalah tauhid dan tasawuf. Seluruh karya tulisnya ditulis di Hijjaz, Makkah dan Taif antara tahun 1764-1788. Karya tulisnya dibidang tauhid antara lain ialah Zuhrah al-Murid fi Bayan at-Tauhid, karya tulis yang  berbahasa melayu berisi tentang kalimat tauhid.
Kalau kita pelajari dari karya tulis al-Palimbani terutama dua buah kitab  terakhir tersebut di atas, maka akan tampak bahwa al- Palimbani berusaha untuk menampilkan ajaran-ajaran baru dalam tasawuf dengan menghimpun ajaran al-Ghazali di satu pihak dan ajaran Ibnu Arabi di lain pihak. Namun karena al-Ittihad,











DAFTAR PUSTAKA
Anshary AZ,  Hafiz, (2002), Peranan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di
Dalam Pengembangan Islam di Kalimantan Selatan,  dalam Majalah
Khazanah, Vol.1  No.1 Januari-Februari 2002, Banjaramasin, IAIN Antasari.
Azra, Azyumardi, (2004),  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Bodiono, (2005), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Agung. 
Daudi, Abu, (1966), Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar), Martapura : Madrasah Sullamul ‘Ulum Dalam Pagar.
Tim Redaksi Ensiklopedi Islam,(1997) , Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Mansur,  Laily,(2002)  Ajaran  dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Marwan, Muhammad, (1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani
Ratib, Tawasul dan Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel.: TB. Sahabat.
Maulana, Achmad dkk, (2004), Kamus Ilmiyah Populer Lengkap Dengan EYD
dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia Yogyakarta : Absolut.
Dr. Rosihun Anwar, M.Ag. AKHLAK TASWUF. CV.Pustaka Setia. Bandung. 2009
M. Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta: Pustaka Bulan Bintang,t t
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Paramadina, 1992






Tidak ada komentar:

Posting Komentar