BAB I PEMBAHASAN
1.
BERHARAP
DAN TAKUT (RAJA’ DAN KHAUF)
Bagi kalangan kaum dan sufi, raja’
dan khauf berjalan seimbang dan saling mengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap
atu optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan senang karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah
ditegaskan dalam al-qur’an,” Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang mengaharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 218)
Orang yang harapan dan penantiannya
menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti
harapannya benar. Sebaliknya, jika haparannya hanya angan-angan, sementara ia
sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
1. Cinta
kepada apa yang diharapkannya
2. Takut
harapannya itu hilang
3. Berusaha
untuk mencapainya
Raja’
yang
tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanya ilusi atau khayalan. Setiap orang
yang berharap adalah orang yang takut (khauf).
Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat pad waktunya, tentu ia
takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula,
orang yang mengaharap ridha atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut
akan siksaan Tuhan.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Aahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring
hamba-hamba-NYA menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduannya, mereka dapat
dekat dengan Allah. Khauf adalah
kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa
diri di masa yang akan datang. Khauf
dapat mencegah hamba dari berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa
berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat,
sedangkan khauf yang berlebihan akan
menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, sikap raja’ yang berlebihan akan membuat
seseorang sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena rasa optimisnya.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf
dan Raja’
Dalam
pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan Raja’ (pengharapan) menempati
posisi penting dalam membersihkan jiwa. Ia terkasan menguaraikan kedua sifat
itu dengan etika-etika keagamaan lainnya. Ketika disifati dengan dua sifat di
atas, seseorng secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya.
Pangkal wara’, menurutnya adlah ketakwaan. Pangkal ketakwaan adalah intropeksi
diri (muhasabat an-nafs). Pangkal intropeksi diri adalah khauf dan raja’. Pangkal
khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan
pangkal tentang pengetahuan tentang keduannya adalah perenungan.
Menurut
Al-Muhasibi, khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan
berpegang teguh kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula
mengaitkan kedua siraf itu dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Untuk
itu, ia menganggap ibn Sina dan Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai jenis fana’ atau
kecintaan kepada Allah yang berlebih-lebihan dan keluar dari apa yang diyakini
para sufi dari kalangan ahlisunnah. Al-Muahasibi lebih lanjut mengatakan bahwa
Al-qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.
Ajakan-ajakan Al-qur’an pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti)
dan tarhib (ancaman). Al-qur’an juga jelas berbicara tentang surga dan neraka.
Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut
ini yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
berada didalam taman-taman (surga) dan di mata air sambil mengambil apa yang
diberikan kepada mereka oleh tuhan mereka. Sesungguhnya mereka itu sebelum di
dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Meraka sedikit kali tidur di waktu
malam, dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S.
Adz-Dzariyat [51]: 15=18)
Raja’ dalam
pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh. Tatkala melakukan amal
saleh, seseorang berhak mengaharap pahala dari Allah. Inilah yang dilakukan
oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi sebagaiman digambarkan oleh ayat yan berbunyi:” Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2. IKHLAS
A. Pengertian Ikhlas (Ketulusan)
Ikhlas artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub
kepada Allah dari berbagai maksud dan niat lain. Atau mengesakan hanya
Allah-lah sebagai tujuan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan menjauhi dan
mengabaikan pandangan mahluk serta tujuan keduniaan dan senantiasa berkonsentrasi
kepada Allah semata.
Ikhlas atau tulus, arti menurut kamus Tasawuf adalah bersih
dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Syed Ali Bin Uthman Al Hujweri
menggambarkan bahwa ikhlas adalah perbuatan akan bernilai apabila ada ke
ketulusan di dalamnya. Ikhlas itu seperti jiwa di dalam tubuh. Badan tanpa jiwa
adalah mati, seperti batu. Keikhlasan adalah aspek bathiniah sedangkan
perbuatan adalah aspek lahiriah. Apabila kedua aspek ini berpadu maka akan
pasti akan menghasilkan kesempurnaan. Ke duanya saling melengkapi dan saling
bergantung. Jika seseorang tulus selama satu tahun tapi tanpa ditunjukkan
dengan perbuatan, maka tak ada artinya. Sebaliknya, jika sesorang melakukan
perbuatan tanpa ketulusan, seperti dia telah pergi entah ke mana. Suatu perbuatan
akan dinilai sebagai perbuatan apabila didalamnya ditemukan keikhlasan.
Menurut Abd Al Karim Ibn Huwazin al Qusyayri keikhlasan
berarti menjadikan Allah sebagai satu-satunya obyek persembahan. Ini berarti
menghendaki kedekatan dengan Allah melalui ibadah, dengan mengesampingkan yang
lain, apakah itu sifat riya yang bertujuan memperoleh pujian atau penghormatan
diri manusia. Tepatnya "Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan
dari kesadaran apapun terhadap sesama mahluk." Dikatakan juga,
"Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari kepedulian terhadap
pandangan sesama manusia".
Firman Allah dalam surat Al Ikhlas 1) katakanlah
"Dialah Allah yang Maha Esa, 2) Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu 3) Dia tidak beranak dan tidak pula diberanakkan 4)
dan tidak ada satu orangpun yang setara dengan Dia.
Disebut
Al Ikhlas yang artinya "Memurnikan keesaan Allah" karena surat ini
sepenuhnya menegaskan kemurnian, keesaan Allah dan menolak segala kemusyrikan.
Abu Utsman al Maghriby menyatakan
bahwa ,"Keikhlasan adalah keadaan dimana nafsu tidak memperoleh
kesenangan. Ini adalah ikhlasnya orang awam. Mengenai ikhlasnya manusia
pilihan, keikhlasan datang kepada mereka bukan karena perbuatan mereka sendiri.
Amal kebaikan lahir dari mereka, tetapi mereka terpisah dengannya. Mereka tidak
menyadari perbuatan baik mereka, tidak pula mereka punya kepedulian terhadapnya
Itulah ikhlasnya kaum pilihan".
Menurut
ulama yang disebut ikhlas itu ada dua, yaitu keikhlasan beramal dan keikhlasan
mencari pahala. Keiklasan beramal adalah keinginan mendekatkan diri kepada
Allah, mengagungkan ikhwal-Nya dan menyambut seruan-Nya. Adapun yang mendorong
motif ini adalah keyakinan yang benar. Lawan keiklasan dalam beramal adalah
kemunafikan.
Adapun
keikhlasan mencari pahala adalah keinginan memperoleh manfaat akhirat dengan
amal kebajikan. Lawannya adalah riya. Jadi riya adalah keinginan memperoleh
dunia dari amalan akhirat.
Ikhlas merupakan
hal yang sangat prinsip dalam ibadat. Ikhlas adalah tindakan dan
perbuatan murni yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Secara
etimologi, ikhlas sering diertikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri
hal yang menjadi tujuan. Dalam ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang
diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun
tindakan.
Sayid Muhammad Ibnu Alwy Ibnu Abbas Al-Maliki Al-Makky
Al-Hasani dalam kitabnya “Qul Hadzihi Sabili,” memasukkan ikhlas sebagai
Al-Manjiyyat yaitu sesuatu yang dapat memberi keselamatan kepada siapa saja
yang mengamalkannya. Ikhlas menurutnya identik dengan Iman, sambil mengutip QS.
17: 19 yang artinya, “Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat
dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka
mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” Ayat ini
juga memberikan pemahaman bahwa motivasi orang yang beriman (baca: ikhlas)
adalah kehidupan Akhirat serta bersungguh-sungguh untuk meraihnya
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah
dalam menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil
apapun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab: ”Ialah
ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal
kecuali disertai keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.”
HR. An-Nasai
Seorang sufi membersihkan amal perbuatannya daripada ‘ujub,
riya’, hubb al-dunya, hasad, takabbur dan sebagainya dengan
mengerjakan amal soleh semata-mata kerana Allah maka dia disebut sebagai
seorang mukhlis (beramal dengan penuh keikhlasan) dan perbuatannya itu
adalah ikhlas.
Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang bersifat
batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan soleh. Ia merupakan perasaan
halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah
bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu
adalah rahsia yaitu keikhlasan. Allah berfirman yang bermaksud: “Kepada
Engkau saja, kami menyembah dan kepada Engkau saja kami memohon
pertolongan.”
B. Bentuk keikhlasan dalam
Perbuatan/Amalan
Keikhlasan,
apabila ditinjau dalam bentuk realiti amalan, maka ia dapat dibahagi kepada
tiga peringkat, yaitu:
1)
tidak
melihat amalan sebagai amalan semata-mata yaitu tidak mencari balasan daripada
amalan dan tidak puas terhadap amalan; malu terhadap amalan di samping sentiasa
berusaha sekuat tenaga.
2)
menjaga
amalan dengan sentiasa dan tetap menjaga kesaksian serta memelihara cahaya
taufiq yang dipancarkan oleh Allah SWT.
3)
memurnikan
amalan dengan melakukan amalan berasaskan ilmu serta tunduk kepada kehendak
Allah
Keikhlasan bukanlah hal yang statik yang sekali wujud akan
sentiasa bertahan selamanya di dalam diri manusia. Ia adalah suatu yang dinamis
yang sentiasa menuntut kesungguhan pemeliharaan dan peningkatan. Keikhlasan
menjadi langkah bagi manusia untuk menumbuh kembangkan potensi sedia ada yang
akan memberi kesan kepada amalan dan teruji dalam kualiti maupun kuantiti.
C. Ciri-Ciri orang yang Ikhlas (
Mukhlisin)
Suatu hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada
Rasulullah SAW sewaktu dia akan diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah
SAW, berilah aku nasehat,” Rasul bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu,
meskipun kerjamu sedikit.” HR. Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung
pelajaran yang berharga , antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para
Mukhlishin yaitu:
1. Selalu berbuat baik walaupun manusia
membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” QS. 40: 14
2. Mendasari setiap amal shalihnya
dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT
3. Sikapnya berbuat baik tidak ingin
dilihat atau dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS
pernah mengatakan: ”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan
kebajikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu
apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi
ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa
mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan
(harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena
manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak
akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah
terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq,
na’udzubillahi min dzalik.
D. Hal-hal yang Merusak Keikhlasan
Ada
beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
1. Riya' ialah memperlihatkan
suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun
memujinya.
2. Sum'ah, yaitu beramal
dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
3. 'Ujub, masih termasuk
kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya
dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah
dengaN makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan
diri-sendiri Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat
tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy'
Imam Al-Ghazali juga mengemukakan tentang pertarungan antara
ikhlas dan riya ini dan membaginya menjadi tiga jenis dorongan dan akibatnya,
yaitu;
- Jika
pendorong amalnya (ikhlas) sama kuat dengan dorongan nafsunya, maka
kedua-duanya harus digugurkan dan jadilah amalnya tidak berpahala dan juga
tidak berdosa.
- Jika
dorongan riya lebih kuat dan menang, jadilah amalannya tidak bermanfaat,
malah mengakibatkan adzab baginya. Siksaan dalam kondisi seperti ini lebih
ringan dibanding amal yang semata-mata riya.
- Jika
niat bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah lebih kuat dibanding dengan
yang lainnya, maka ia mendapat pahala dari kekuatannya memelihara
keikhlasan tadi.
E. Cara Memelihara Keikhlasan
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap
dalam hati setiap mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang
dapat memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita,
di antaranya:
- Dengan
meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir maupun batin,
sekecil apapun, selalu dilihat dan didengar Allah SWT dan kelak Dia
memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang
terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi.
Dan yang sering tidak kita sadari adalah penyimpangan niat
dari ikhlas lillahi Ta’ala menjadi riya. Dalam hadis Qudsi dikemukakan: ”Kelak
pada Hari Kiamat akan didatangkan beberapa buku catatan amal yang telah
disegel. Lalu dihadapkan kepada Allah SWT tetapi kemudian Dia berfirman:
”Buanglah semua buku-buku ini !” Malaikatpun berkata: ”Demi kekuasaan-Mu, kami
tidak melihat didalamnya selain kebaikannya saja.” Lalu Allah berfirman;
“Sesungguhnya amalan yang memenuhinya dilakukan bukan karena Aku, dan Aku tidak
menerima kecuali apa yang dilakukan karena mencari keridlaan-Ku.” HQR.
Al-Bazzar & at-Tabrani.
- Memahami
makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam beribadah hanya
kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan
kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita
menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan
serta segeralah mensucikan diri dengan bertaubat dan meluruskan kembali
niat baik tadi. Firman Allah: “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan
memperbaiki amal mereka serta berpegang teguh kepada agama Allah dan tulus
ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah, maka mereka itu adalah
bersama orang yang beriman dan kelak Allah memberikan kepada orang yang
beriman pahala yang besar.” QS 4; 146
- Berusaha
membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq
atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa
yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik
dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan
sesuatu apapun.“ QS. 18: 110.
Kehati-hatian ini sebagai cerminan sikap ikhlas kita,
meskipun tidak jarang kita khilaf dan menyimpang dari niat semula. Namun,
dengan memahami seluk beluk penyakit hati ini, diharapkan kita dapat mengambil
sikap yang benar.
- Memohon
petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam ikhlas. Karena hanya
Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari
godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan
manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik yang
tersembunyi, sebagaimana diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa
yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan
barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan
syirik, dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya
sesungguhnya ia telah melakukan syirik, karena Allah ‘azza wajalla
berfirman (dalam Hadits Qudsi): ”
3. TAWAKAL
A.
Hakikat Tawakal.
Dari segi bahasa tawakkal berasal dari “tawakala” yang
memeliki arti menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan (munawir 1984-1987),.
(Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang
menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah
SWT.
Tawakal ialah membebaskan hati dari ketergantungan kepada
selain Allah SWT, dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada-Nya . Firman
Allah
Yang artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang
ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan
semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali
Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. ( QS. Hud/ 11:123).[1][1]
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh
beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Diantara definisi
mereka adalah:
1.
Sari
al-saqati, Tawakkal adalah: Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan
kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apapun melainkan daripada Allah
semesta alam.
2.
Menurut
Imam Ghazali bahwa ia telah menerangkan tentang hakikat tawakal adalah:
merupakan suatu keadaan jiwa yang telah lahir dari tauhid juga lahir pengaruh
tauhid ini dalam perbuataanya.
3.
Ibnu
Qoyim al-Jauzi “Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati
dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, berlindung hanya
kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan
bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya
B.
Macam-macam Tawakal
Tawakal kepada Allah ada dua macam, yakni sebagai berikut:
1.
Tawakal dalam mencari kebutuhan dan
keberuntungan duniawi, serta dalam menolak kemudharatan dan kesulitan.
2. Tawakal dalam meraih apa yang
dicintai oleh Allah berupa iman, keyakinan, jihad, dan dakwah.
Diantara kedua macam tawakkal tersebut, terdapat karunia
yang tiada terhitung. Jika seorang hamba bertawakal dalam meraih poin ke-2 (
keimanan dan keyakinan, jihad, dan dakwah) dengan sebaik-baik tawakal maka
Allah Azza wa jalla akan menjaminnya terhadap poin pertama ( kebutuhan
dunianya) dengan jaminan yang sempurna dan utuh. Jika seorang hamba bertawakal
dalam meraih keberuntungan duniawi atau dalam menolak kesulitan dan bencana, ia
pun akan dijamin oleh Allah ( dengan mendapatkan apa yang diinginkannya itu),
tapi ia tidak memperoleh poin yang kedua. ( keyakinan, iman, dan jihad). Yang
dicintai Allah.
Jadi, tawakal yang paling baik ialah tawakal dalam meraih
atau mempertahankan hidayah dan tauhid dalam mengikuti RasulluAllah serta
berjihad memerangi kebatilan.
C.
Tawakkal terdiri dari tiga tingkatan
yaitu:
1. Tingkat Bidayah ( pemula) :tawakkal
dalam tingkat hati yang selalu merasa tentram terhadap apa yang sudah dijanjikan Allah.
2. Tingkat Mutawassittah ( pertengahan)
: tawakla pada tingkat hati yang merasa cukup menyerahkan segala urusan kepada
Allah karena yakin bahwa Allah mengetahui keadaan dirinya.
3. Tingkat nihayah ( terakhir) : pada
tingkat ini terjadi penyerahan diri seorang pada rida atau merasa lapang
menerima segala ketentuan Allah.
D. Tawakal Bukan Pasrah
Banyak orang yang menyangka bahwa tawakal itu adalah pasrah
secara keseluruhan, maka ini adalah anggapan yang tidak benar. Akan tetapi
seorang mukmin jika beribadah kepada Allah mereka bertawakal, tetapi tidak
seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh yakni tawakal adalah sekedar
ucapan di bibir tanpa dipahami akal, membuang sebab-sebab, tidak mau kerja,
merasa puas dengan kehinaan dibawah bendera tawakal kepada Allah ta’ala, dan
ridlho dengan takdiryang terjadi padanya. Bahkan seorang mukmin memahami bahwa
tawakal itu merupakan bagian dari imannya dan aqidah ialah ta’at kepada Allah
dengan menghadirkan semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang
hendak ia kerjakan. Ia tidak berambisi kepada buah tanpa memberikan sebab
sebabnya. Perhatikan dalil-dalil berikut
Dan barang siapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.(Qs.Thalaq:3)[2][3]
Dalam ayat ini Allah berjanji akan memberikan kecukupan
kepada orang-orang yang bertawakal termasuk rizki. Apakah artinya seseorang
tidak berupaya dan tidak kerja lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit ?
Apakah ada orang yang berkeinginan memiliki anak tetapi tidak pernah mengumpuli
istrinya diberi anak ? Tentu tidak demikian.
Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama
halnya orang yang ingin punya anak harus beristri dan mengumpuli istrinya. Jadi
Allah memberi rizki kepada seseorang dengan upaya usaha yang telah
diupayakannya.
Rosulullah SAW juga bersabda yang artinya :
Dari umar bin khathab, rasulullah bersabda, “Andaikan
kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberi rizki
kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan
perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang”. (Shahih, Tirmidzi 2344
dan berkata,hadist hasan shahih, Ibnu Majah 4164, Ahmad, dishahihkan al Akbani)
Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makan pada pagi
harinya dan kembali pada sore harinya, maka Allah menjamin dengan memberikan
makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur saja disarang sambil
menunggu makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Begitu pula seharusnya
manusia, apalagi dia diberi kelebihan yang sangat banyak disbanding seekor
burung.
E.
Keutamaan Bertawakkal
1) Tawakkal merupakan pondasi tegaknya
iman dan terwujudnya amal shaleh
Ibnul Qoyyim menyatakan, “Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakkal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagaimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali di atas pondasi tawakkal.” (Dinukil dari Fathul Majid 341)
Ibnul Qoyyim menyatakan, “Tawakkal merupakan pondasi tegaknya iman, ihsan dan terwujudnya seluruh amal shaleh. Kedudukan tawakkal terhadap amal seseorang itu sebagaimana kedudukan rangka tubuh bagi kepala. Maka sebagaimana kepala itu tidak bisa tegak kecuali jika ada rangka tubuh, demikian pula iman dan tiang-tiang iman serta amal shaleh tidak bisa tegak kecuali di atas pondasi tawakkal.” (Dinukil dari Fathul Majid 341)
2) Tawakkal merupakan bukti iman
seseorang Allah berfirman, yang artinya: “Bertawakkal-lah kalian hanya
kepada Allah jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23).
Ayat ini menunjukkan bahwa tawakkal hanya kepada Allah merupakan bagian dari
iman dan bahkan syarat terwujudnya iman.
3) Tawakkal merupakan amal para Nabi ‘alahimus
shalatu was salam
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan satu kalimat: “hasbunallaah wa ni’mal wakiil” yang artinya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan Dia sebaik-baik Dzat tempat bergantungnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alahis shalatu was salam ketika beliau dilempar ke api. Dan juga yang diucapkan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah arab telah bersatu untuk menyerang kalian (kaum muslimin)…” (HR. Al Bukhari & An Nasa’i).
Hal ini sebagaimana keterangan Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma ketika menjelaskan satu kalimat: “hasbunallaah wa ni’mal wakiil” yang artinya, “Cukuplah Allah (menjadi penolong kami) dan Dia sebaik-baik Dzat tempat bergantungnya tawakkal.” Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alahis shalatu was salam ketika beliau dilempar ke api. Dan juga yang diucapkan Nabi Muhammad ‘alahis shalatu was salam ketika ada orang yang mengabarkan bahwa beberapa suku kafir jazirah arab telah bersatu untuk menyerang kalian (kaum muslimin)…” (HR. Al Bukhari & An Nasa’i).
4) Orang yang bertawakkal kepada Allah
akan dijamin kebutuhannya
Allah berfirman, yang artinya, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (QS. At Thalaq: 3)
Allah berfirman, yang artinya, “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya).” (QS. At Thalaq: 3)
F. Manfaat Tawakal kepada
Allah SWT
1. Dicukupkan
Rizkinya dan merasakan ketenangan. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu. " (At Thalaq :3).
2. Dikuatkan
dan dijauhkan dari Syetan. "Sesungguhnya syaitan itu tidak ada
kekuasaannya atas orang-orang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya"(An Nahl:99)
3. Bertawakal
kepada Allah bukan berarti meninggalkan usaha untuk mencari rizki dan tidak
berobat. Nabi Allah, Muhammad SAW sendiri merupakan orang yang paling takut dan
paling bertawakal kepada Allah, akan tetapi beliau sendiri berusaha untuk
mencari rizki dengan cara berdagang. Dalam haditsnya seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, saya ikat (hewan
tunggangan saya) lalu bertawakal atau saya lepas lalu bertawakal?" Beliau
menjawab: "Ikatlah lalu bertawakal"
4.
SYUKUR
A. Pengertian Syukur Menurut Bahasa dan
Istilah
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,danwa
syukuran yang berarti berterima kasih keapda-Nya.
Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka
artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir
artinya yang banyak berterima kasih.
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari katasyakara,
yaskuru, syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya,
memuji-Nya.
Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala
nikmat-Nya. Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa
menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan
dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut
istilah adalah bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan
menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud
pada lisan, hati maupun perbuatan.
B. Pengertian Syukur dalam Alquran
Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai
berikut disertai penafsirannya masing-masing.
1. Surah
al-Furqan, 25/042: 62
Artinya:
“Dan dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih
berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin
bersyukur” (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini tergolong Makkiyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab
al-nuzul), ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya bahwa Allah
telah membeberkan beberapa dalil tauhid dan menunjuk kepada beberapa
tanda-tanda kebesaran dan bukti yang ada di dalam alam yang membuktikan
kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Kemudian Allah kembali menjelaskan perkataan
dan perbuatan mereka yang keji. Karena, sekalipun mereka telah menyaksikan
segala bukti, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan sesatnya malah
berpaling dari mengingat Tuhan, sehingga hanya kalau disembah dan tidak dapat
mendatangkan azab kalau tidak disembah. Di samping itu, mereka membantu para
penolong, setan dan menjauhi para penolong ar-Rahman. Jika kau heran terhadap
sesuatu, maka heranlah terhadap perkara mereka, karena kejahilannya telah
sampai kepada membahayakan orang yang datang untuk memberikan kabar gemberia
tentang kebaikan yang meyeluruh jika mreka menaati Tuhan, dan mengingatkan
mereka dari malapetaka dan kebinasaan jika mereka mengingkari-Nya. Lebih dari
itu, rasul tidak mengharapkan imbalan dari dakwah itu.
Allah juga memerintahkan kepada rasulnya agar tidak takut terhadap ancaman
dan siksaan mereka, tetapi hendaknya beliau bertawakkal kepada Tuhan, bertasbih seraya memuji-Nya.
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah
menjadikan malam dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran
bagi orang yang hendak mengamil pelajaran dari pergantian keduanya, dan
berpikir tentang ciptaan-Nya, serta mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh
buah dari keduanya. Sebab, jika dia hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia
akan kehilangan waktu untuk melakukan-Nya.
Dengan demikian diketahui bahwa ayat yang berkenaan dengan pengertian
syukur dalam ayat tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi اراد شكورا Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri
nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan
karunia-Nya.
Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan
mengingat-Nya.
Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy
dan Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur
adalah bersyukur atas segala nikmatRabb yang telah dilimpahkan-Nya pada
waktu itu.
Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur
atas segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang
ciptaan-Nya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah bersyukur
atas segala nikmat Tuhan-Nya dengan mengingat dan berpikir tentang ciptaan-Nya.
2. Surah Saba, 034/058 :13
Artinya:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya
dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang
(besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit sekali
dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba: 13).
Ayat ini tergolong surah Makkiyah yang tidak ditemukan asbab al-Nuzul, ayat
ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan
kepada Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk
membuat istana-istana yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca
dan pualam. Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap
pada tempatnya, tidak berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar
mensyukuri-Nya atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.
Syukur itu bisa berupa perbuatan begitu pula bisa berupa perkataan dan bisa
pula berupa niat, sebagaimana dikatakan:
أحديكم
النعماء مني ثلاث يدي زلساني و الهير المحيحيا.
Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu
dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas
nikmat Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.
Ayat yang berkaitan dengan pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah
lafal yang berbunyi:
شكرا- الشكور
Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukur di atas adalah orang yang
berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya
sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.
Dan ada pula yang menyatakan asy-syukur adalah orang yang melihat
kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.
Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukuradalah
berterima kasih atas segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad
al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan
menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan
perintah-Nya.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad
al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyutiy dengan
menambahkan bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan
perintah-Nya.
Sedangkan Depertemen agama RI menyebutkan arti kata dasarasy-syukur adalah
bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan Allah kepada hamba-Nya dengan
amal saleh dan menggunakannya sebagaimana mestinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa syukur adalah berterima
kasih dengan bersyukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya dengan rasa
syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan.
3. Surah al-Insan, 076/098: 9
Artinya:
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Ayat ini tergolong Madaniyah dan tidak ditemukan sebab turunnya (asbab
al-nuzul), ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan
dari kalian balasan dan lain-lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah
memperkuat dan menjelaskan lagi bahwa Dia tidak mengharapkan balasan dari
Hamba-Nya, dan tidak pula meminta agar kalian berterimakasih kepada-Ku, dengan
demikian diketahui bahwa ayat yang ada kaitannya dengan arti syukur dadlam ayat
tersebut pada dasarnya adalah lafal yang berbunyi:
شكورا
Menurut al-Maragi arti kata syukur
di atas adalah berterimakasih kepada Allah swt. Sementara Ibn Katsir mendefenisikan syukur itu adalah
ucapan terima kasih.
Hal senada
dikemukakan oleh Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan Jalal al-Din
‘Abd ar-Rahman Abi Bakr al-Suyutiy, syukur adalah berterimakasih kepada Allah
swt atas segala nikmat-Nya. Apakah mereka benar-benar mengucapkan hal yang
demikian ataukah hal itu telah diketahui oleh Allah swt, kemudian Dia memuji
kalian, sesungguhnya dengan masalah ini ada dua pendapat.
Hal senada dikemukkan oleh
Departemen Agama RI bahwa syukur adalah ucapan terimakasih. Hal ini didukung pengertian secara
bahasa, bahwa syukur adalah berterima kasih kepada-Nya. Berasal dari kata شكر – يشكر – سكرا
yang berarti berterimakasih.
Berdasarkan
penafsiran keempat mufasir di atas maka dapat disimpulkan bahwa syukur adalah
berterimakasih kepada Allah swt atas segala nikmat-Nya. Demikianlah uraian tentang
pengertian syukur dalam Alquran dengan melihat beberapa penafsiran mufasir
terhadap ayat yang telah ditentukan sebelumnya.
C. Macam-macam
syukur
Al-Raghib (tt, 265), membagi syukur kepada tiga macam;
1.
Syukr
al-Qalb (Syukur hati)
2.
Syukr
al-Lisân (Syukur lidah)
3.
Syukr
sâiri al-Jawârih (Syukur semua anggota badan). Syukur hati, yaitu syukur dengan
cara mengingat-ingat ni’mat. Syukur Lidah, yaitu memuji kepada yang memberi
ni’mat. Syukur anggota badan, yaitu membalas ni’mat sesuai dengan kepatutan
(kepantasannya).
1. Syukur qalbi.
Dilakukan
dengan mengingat-ingat ni’mat atau meng-gambarkan ni’mat yang telah diberikan
Allâh dengan perasaan hati. Misalnya dulu tidak punya apa-apa sekarang punya
kekayaan, dulu tidak bekerja sekarang dapat pekerjaan, dulu sakit-sakitan
sekarang ada dalam kesehatan, kita cukup sandang dan pangan sementara orang
lain hidup dalam kesulitan. Dengan demikian akan muncul perasaan hati untuk lebih
bersyukur kepada pemberi ni’mat. Al-Maraghi (I:29) menyebutkan, syukur dengan
hati itu dengan melahirkan ketulusan, kemurnian hati dan rasa cinta kita pada
Allâh (al-Nashu wa al-Mahabbah).
2. Syukur Lidah.
Yaitu
bentuk syukur yang diucapkan dengan lisan, baik kepada Allâh, juga kepada
sesama manusia. Syukur lisan kepada Allâh antara lain kita mengucapkan kalimat
al-Hamdulillah. Ibnu Abbas menyebutkan al-Hamdulillah adalah kalimat syukur,
jika hamba menyebut al-Hamdulillah, Allâh Swt berfirman, Syakaranî ‘Abdî. Pada
kesempatan lain Ia mengatakan al-Hamdu adalah al-Syukru dan al-Iqrâru
bini’amihi wa hidâyatihi. Dan Jalaludin al-Suyuthi (I:30) mengutif riwayat Ibnu
Jarir dan al-Hâkim, menyebutkan hadits Nabi Saw, “Rasulullah Saw bersabda,
apabila kalian mengucapkan “al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin” dengan demikian
engkau telah bersyukur kepada Allâh dan Dia akan menambah ni’mat-Nya” Dan
syukur lisan kepada sesama manusia dilakukan dengan mengucapkan kata-kata
pujian, kata yang baik (al-Madhu-Al-Tsana`u) terhadap orang yang berbuat ihsan
(baik), sebagai ungkapan rasa syukur (Al-Maraghi, I:29)
3. Syukur
anggota badan.
Dilakukan
dengan membalas ni’mat atau kebaikan dengan kepatutan atau kepantasan yang
layak. Syukur Jawarih kepada Allâh, dilakukan dengan membalas ni’mat Allâh
dengan ibadah kepada Allâh. Untuk itu Ibnu al-Mundzir dalam al-Suyuthi (I:31)
menyebutkan, “Shalat itu adalah syukur, shaum juga syukur, seluruh kebaikan
yang dilakukan atas dasar karena Allâh itu adalah syukur.”
Tiga dimensi Syukur
Syukur bisa dikatakan sempurna
bila telah memenuhi 3 kriteria, yaitu:
1.
Mengetahu semua nikmat yang Allah berikan, seperti nikmat iman, Islam
dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya sehingga benar-benar menjadikan
Allah sebagai pelindung dan senantiasa hadir dalam hatinya, dengan meyakini
bahwa kesuksesan dan segala bentuk kemewahan semua berasal dari Allah, kita
hanya diberi pinjaman sementara di dunia.
2. Mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji seperti
alhamdulillah, asy-Syukrulillah atau ucapan lainnya yang memiliki arti yang
sama.
3. Nikmat Allah yang ada, bukan untuk dirasakan sendiri melainkan
untuk berbagi dengan orang lain, seperti sedekah, infaq dan menolong fakir
miskin, itu semua kita lakukan agar kita selamat dari ujian dan amanah yang
kita hadapi di dunia sehingga kelak harta, tahta dan kekayaan kita menjadi
penolong besok pada hari penghitungan amal di yaum mahsyar nanti.
5.
TAUBAT
A.
Pengertian
Taubat
Ditinjau
dari segi bahasa, taubat adalah ism mas}dar yang berasal dari fi’l bermakna yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah,
khususnya ulama tasawuf, mereka berbeda pendapat. Menurut al Muhasibi,2 taubat
adalah penyesalan terhadap perbuatanperbuatan jelek pada masa lalu dan
berkeinginan tidak akan mengulanginya lagi, serta menghindar dari hal-hal yang
mengajak untuk berbuat dosa. Untuk menguatkan pandangannya, al-Muhasibi mengutip
sebuah ayat al Qur’an:
Dan
mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui . Kesucian
jiwa seorang hamba karena bertaubat itu lebih utama dari pada seorang hamba
yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sunnah dan kebajikan lainnya tetapi tetap
berbuat maksiat. Menurut al-Muhasibi hal itu karena :
a. jiwa
yang terkotori kenikmatan maksiat tidak akan menumbuhkan keikhlasan dalam hati.
b. manusia
dituntut untuk meninggalkan semua kejelekan tanpa terkecuali.
c. meninggalkan
kejelekan akan menjadikan manusia berada dalam kebaikan, seperti: orang yang
bertaubat dari takabur menjadikan ia orang yang tawadu’; orang yang bertaubat
daari sifat bakhil menjadikan ia seorang yang mulya; dan bertaubat dari
kejelekan-kejelekan lainnya menjadikan ia kebalikan dari sifat-sifat jelek
tersebut.
d. apabila
kabaikan tercampuri kejelekan maka yang nampak adalah kejelekan.Sedangkan
menurut al-Jaila>ni> (470 – 561 H),7 taubat adalah kembalinyaseorang
hamba dari perbuatan yang tercela menurut syara’ menuju perbuatanyang terpuji
menurut syara’, serta meyakini bahwa dosa dan maksiat adalahdua hal yang
menghancurkan dan menjauhkan seorang dari Allah SWT dan surganya dan menjauhi
keduanya penyebab dekatnya hamba dengan Allah SWT dan surganya. Lebih jauh lagi,
dalam hal ini al-Jailani menyatakan: (Wahai kaumku) berebutlah dan capailah
pintu kehidupan selama masih terbuka, karena dalam waktu dekat akan tertutup
untukmu. Berebutlahuntuk mencapai pintu taubat, masuklah kalian didalamnya,
selama masih terbuka bagi kalian. Berebutlah untuk mencapai pintu do’a, selama
masih terbuka bagi kalian.
Berebutlah kalian untuk mencapai pintu, berdesa-desaklah dengan saudara saudara kalian yang shalih, selama pintu tersebut masih terbuka bagi kalian.
Berebutlah kalian untuk mencapai pintu, berdesa-desaklah dengan saudara saudara kalian yang shalih, selama pintu tersebut masih terbuka bagi kalian.
Hakikat
taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari bermaksiat kepada-Nya kepada
ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua macam: taubat mutlak dan taubat
muqayyad (terikat). Taubat mutlak ialah bertaubat dari segala
perbuatan dosa. Sedangkan taubat muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa
tertentu yang pernah dilakukan.
Syarat-syarat
taubat meliputi:
beragama Islam, berniat ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan
perbuatan dosa, bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang
yang dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau matahari
terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum beriman, bukan
kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa.
Karena Allah berfirman,
وَتُوبُوا
إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kalian
semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An
Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah,
tentang pembahasan isi khutbatul hajah).
B.
Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat
dan Maha Penyayang
Allah
menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun lagi Maha
Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji mengaruniakan nikmat taubat
kepada hamba-hambaNya di dalam sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala
berfirman,
وَاللّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُواْ مَيْلاً عَظِيماً
“Allah menginginkan untuk
menerima taubat kalian, sedangkan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya
ingin agar kalian menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَوْلَا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ
“Dan seandainya bukan karena
keutamaan dari Allah kepada kalian dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan
binasa). Dan sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.”
(QS. An Nuur: 10)
C.
Berbagai Keutamaan Taubat
Pada
hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase persinggahan iman.
Setiap insan selalu membutuhkannya dalam menjalani setiap tahapan kehidupan.
Maka orang yang benar-benar berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai
sahabat dekat dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan
orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan taubat di belakang
punggungnya. Beberapa di antara keutamaan taubat ialah:
Pertama: Taubat
adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka
membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Kedua: Taubat
merupakan sebab keberuntungan.
Allah ta’ala berfirman
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kepada
Allah wahai semua orang yang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS. An
Nuur: 31)
Ketiga: Taubat
menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan turunnya ampunan atas
kesalahan-kesalahannya.
Allah ta’ala berfirman
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ
التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ
“Dialah Allah yang menerima
taubat dari hamba-hambaNya dan Maha mengampuni berbagai kesalahan.” (QS.
Asy Syuura: 25)
Allah ta’ala juga berfirman
وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحاً
فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan barang siapa yang
bertaubat dan beramal saleh maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.”
(QS. Al Furqaan: 71) artinya taubatnya diterima
Keempat: Taubat
merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari siksa neraka.
Allah ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئاً
“Maka sesudah mereka
(nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsu, niscaya mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali
orang-orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal saleh
maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam surga dan mereka
tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam: 59, 60)
Kelima: Taubat
adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.
Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ عَمِلُواْ
السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُواْ مِن بَعْدِهَا وَآمَنُواْ إِنَّ رَبَّكَ مِن
بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang
mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat sesudahnya dan beriman maka
sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al
A’raaf: 153)
Keenam: Taubat
merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan berbagai kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ
أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ
مُهَاناً إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan barang siapa yang
melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan menemui pembalasannya. Akan
dilipatgandakan siksa mereka pada hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya
dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta
beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh Allah
keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan Allah maha pengampun
lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari suatu dosa sebagaimana
orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Ketujuh: Taubat
menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ
لَّكُمْ
“Apabila kalian bertaubat
maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.” (QS. At Taubah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَإِن يَتُوبُواْ يَكُ خَيْراً
لَّهُمْ
“Maka apabila mereka
bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi mereka.” (QS. At Taubah: 74)
Kedelapan:
Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan pahala yang besar.
Allah ta’ala berfirman,
إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ
وَأَصْلَحُواْ وَاعْتَصَمُواْ بِاللّهِ وَأَخْلَصُواْ دِينَهُمْ لِلّهِ
فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْراً
عَظِيماً
“Kecuali orang-orang yang
bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang teguh dengan agama Allah serta
mengikhlaskan agama mereka untuk Allah mereka itulah yang akan bersama dengan
kaum beriman dan Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang
amat besar.” (QS. An Nisaa’: 146)
D. Taubat Nasuha
Taubat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum mu'minin
adalah taubat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Al Quran:
"Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." QS.
at-Tahrim: 8
Kemudian
apa makna taubat nasuha itu.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir berkata dalam kitab tafsirnya: "artinya adalah, taubat yang
sebenarnya dan sepenuh hati, akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan
sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertaubat, serta menghapus
keburukan-keburukan yang dilakukannya."
Sedangkan nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata
nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari
syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna:
bersih. Dikatakan dalam bahasa Arab: "nashaha al 'asal" jika madu itu
murni, tidak mengandung campuran. Sedangkan kesungguhan dalam bertaubat adalah
seperti kesungguhan dalam beribadah. Dan dalam bermusyawarah, an-nush itu
bermakna: membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan
menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An nush-h (asli) adalah lawan
kata al-gisysy-(palsu).
E. Sekadar Bicara Taubat dengan Lidah
Bukan Taubat
Taubat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti
dipahami oleh kalangan awam. Ketika salah seorang dari mereka datang kepada
seorang tokoh agama ia berkata kepadanya: "Pak kiyai, berilah taubat
kepada saya". Kiyai itu akan menjawab: "ikutilah perkataanku
ini!": "aku taubat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku
menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan
maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain
agama Islam".
Dan ketika ia telah mengikuti ucapan kiyai itu dan pulang,
ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan taubat!.
Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus: kebodohan
orang awam itu, serta sang kiyai juga. Karena taubat bukan sekadar ucapan
dengan lidah saja, karena jika taubat hanya sekadar berbuat seperti itu,
alangkah mudahnya taubat itu.
6. KHUSYU’
A. Pengertian Khusyu’
1. SECARA BAHASA
kata khusyu’ memiliki beberapa arti yang sama:
Tunduk, Pasrah. Merendah Atau Diam
Artinya mirip dengan kata khudu’.
Hanya saja kata khuduk’ lebih sering digunakan untuk anggota badan, sedangkan
khusyu’ untuk kondisi dan gerak-gerik hati (Lihat Mu’jamu Maqasiyisi al-Lughah:
II/152, Bashairu Dzawi At-Tamyiz: II/541-543, Tafsir Al-Baghwi: III/301, Tafsir
Abi As-Su’ud: VI/123 dan Fathul Bari: II/225)
Ø RENDAH
PERLAHAN, BIASANVA DIGUNAKAN UNTUK SUARA
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
#
“Dan (khusyu’) merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah, maka
kamu tidak mendengar melainkan bisikan saja.” (QS. Ath-Thaha: 108)
Ø DIAM, TAK BERGERAK.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
#
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, kamu lihat bumi itu diam tak bergerak,
dan apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.”
(QS. A1-Fushilat: 39)
2.
MENURUT ISTILAH
Khusyu’ artinya: kelembutan hati, ketenangan sanubari yang
berfungsi menghindari keinginan keji yang berpangkal dari memperturutkan hawa nafsu
hewani, serta kepasrahan di hadapan ilahi yang dapat melenyapkan keangkuhan,
kesombongan dan sikap tinggi hati.
Dengan
itu, seorang hamba akan menghadap Allah dengan sepenuh hati. Ia hanya bergerak
sesuai petunjuk-Nya, dan hanya diam juga sesuai dengan kehendak-Nya. (Lihat
“A1-Khusyu’ fi Ash-Shalah” oleh Ibnu Rajab Al-Hambali)
Adapun
pengertian khusyu’ di dalam shalat:
#
“Kondisi hati yang penuh dengan ketakutan, mawas diri dan tunduk pasrah di
hadapan keagungan Allah. Kemudian semua, itu membekas dalam gerak-gerik anggota
badan yang penuh khidmat dan konsentrasi dalam shalat, bila perlu menangis dan
memelas kepada Allah; sehingga tak memperdulikan hal lain.” (‘Lihat
Al-Khusyu’ karya Al-Hilali)
Pengertian
khusyu’ tersebut diambil dari firman Allah:
#
“..yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya..” (QS. Al-Mukminun:
1-2)
Mengenai
makna kekhusyu’an itu, Ibnu Abbas menandaskan: “Artinya penuh takut dan
khidmat.” A1-Mujahid menyatakan: “Tenang dan tunduk.” Sementara Ali bin Abi
Thalib pernah menyatakan:
#
“Yang dimaksud dengan kekhusyu’an di situ adalah kekhusyu’an hati.“
B.
Khusyuk
Dan Tumakninah Dalam Shalat
Waktu shalat adalah waktu singkat yang sangat berharga bagi seorang muslim,
karena ia sedang menghadap dan bermunajat kepada Rabbnya yang Maha tinggi dan
Maha Agung, oleh karena itu hendaknya setiap dari kita berusaha untuk
meninggalkan segala kesibukan duniawi dan menghadapkan wajah kita kepada Allah
dengan penuh khusuk dan tunduk mengharapkan keridhoan-Nya, akan tetapi banyak
diantara kita yang merasakan hilangnya atau berkurangnya khusyu dalam shalat
kita, dan hal itu depangaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah:
-
Karena kita tidak memahami makna doa-doa dan bacaan yang ada dalam shalat.
-
Tidak merenungi isi dan kandungan shalat kita.
-
Banyaknya beban pikiran atau urusan yang belum terselesaikan ketika kita hendak
melakukan shalat.
7.
TAWADHU’
Sikap
merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yg sangat terpuji di hadapan
Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahka h kita memilikinya?
Merendahkan diri adl sifat yg
sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap
orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat
terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adl
ketundukan kepada kebenaran dan menerima dari siapapun datang baik ketika suka
atau dlm keadaan marah. Arti janganlah kamu memandang dirimu berada di atas
semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari
sifat tawadhu’ adl takabbur sifat yg sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah mendefinisikan sombong dgn sabdanya: “Kesombongan adl menolak
kebenaran dan menganggap remeh orang lain.”
Jika anda
mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dlm rangka menolak atau mengingkari
berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.
Tahukah anda
apa yg diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yg terkutuk? Dan apa
yg diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dgn
semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah?
Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala krn tdk memiliki sikap
tawadhu’ dan sebalik justru menyombongkan dirinya.
Macam-macam Tawadhu’
Telah dibahas oleh para ulama
sifat tawadhu’ ini dlm karya-karya mereka baik dlm bentuk penggabungan dgn
pembahasan yg lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yg
membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’
yg terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tdk mengangkat diri
di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’
yg dibenci yaitu tawadhu’- seseorang kepada pemilik dunia krn menginginkan
dunia yg ada di sisinya. .
8.
TOKOH-TOKOH SUFI DISUMATERA
1. Hamzah
Fansuri: Sufi-Pujangga dari Sumatera
Dikenal sebagai sufi
kontroversial. Ditentang oleh ulama sezamannya, kilaunya terus mengemuka.
Disebut sebagai pelopor tasawuf falsafi Nusantara. Pemikiran tasawufnya
mendalam. Kritiknya atas kehidupan sosial, politik, dan keagamaan sangat tajam.
Sosok Hamzah Fansuri dalam wacana
tasawuf Nusantara memang fenomenal. Ia banyak menuai kontroversi. Kehidupannya
juga penuh misteri. Sampai saat ini, belum ada data valid dan argumentatif yang
bisa mengantarkan pada kongklusi pasti tentang masa dan perjalanan hidup Hamzah
Fansuri. Meskipun telah banyak studi dan penelitian yang dilakukan oleh
kalangan orientalis maupun intelektual muslim untuk menguak sejarah
kehidupannya
Miskinnya data tersebut bisa jadi
karena kehadirannya banyak ditentang oleh berbagai kelompok dominan saat itu.
Yakni, kelompok kaum sufi yang (bagi Fansuri) melaksanakan ajaran-ajaran
menyimpang, kelompok ulama dan fuqaha yang memandang tasawuf sebagai ajaran
sesat dan menyesatkan karena dianggap telah keluar dari agama, dan kelompok
penguasa dan orang-orang kaya yang tenggelam dalam kenikmatan duniawi, yang
melalaikan mereka dari nikmat Allah.
Fansuri sendiri adalah penganut
tasawuf falsafi. Maka, wajar kalau kemudian ia mengalami banyak penolakan dari
berbagai pihak. Meski tak sedikit juga yang mendukungnya. Apalagi, ia termasuk
seorang ulama yang kritis. Tak segan ia mengritik kelakuan para penguasa yang
dipandangnya telah menyimpang.
Selain seorang sufi terkemuka,
Hamzah Fansuri dikenal juga sebagai sastrawan andal. Ali Safi Husayn,
sebagaimana dikutip Schimmel (1982) menyatakan bahwa puisi-puisi Hamzah Fansuri
tergolong dalam karya sufistik yang agung. Menurut dia, sajak-sajak Hamzah
tergolong syair al-kasyf wa al-ilham. Yaitu puisi yang berdasarkan kasyf yang
umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi dengan tamsil-tamsil erotik yang
berkenaan dengan kemabukan, kefakiran, dan ketelanjangan mistik.
2.
Sufi
Legendaris dari Nangroe Aceh
Sejak lama Aceh telah dikenal sebagai satu-satunya daerah yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Samsuddin Sumatrani.
Syamsuddin
Sumatrani adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan
corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi
ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak
ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya
sumber-sumberakuratyangdapatdirujuk.
Mengenai
asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan
penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatra” alias Samudra Pasai. Sebab memang di
kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup
ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut
Syamsuddin Pasai.
PERANAN DAN PENGARUHNYA
Pada masa
pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi
orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri
tidak disingkapkan bagaimana perjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia
menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh
selama tiga atau empat dasawarsa.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam.
KARYA-KARYANYA
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut:
1. Jawhar
al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap
yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran
tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Risalah
Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman;
berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati
relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan
pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3. Mir’at
al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran
tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para
malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini
membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah
(tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
4. Syarah
Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan
ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain
menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
AJARAN TASAWUFNYA
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai
seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan
mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri
sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak
pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham
wahdatul wujud.
Abd. Al-shamad al-palimbani
Pelopor Tarekat
Al-Sammaniyah di Indonesia
M. Kursani Ahmad
Lebih
lanjut menurut antropologi asal Jepang ini, bahwa ulama biasanya menjabarkan
doktrin Islam melebihi jangkauan georafis dan genarasi. Tugas mereka
adalah mengajarkan seperangkat keyakinan
agama, sistem nilai dan amal Abstrak.
Proses
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia sangat terkait dengan sejarah dan
pemikiran tasawuf atau tarekat. Para sejarahwan menilai bahwa pemikiran Islam
pertama yang disebarkan oleh para penyebar Islam pertama di Indonesia adalah
ulama-ulama yang mempraktikkan moral-moral tasawuf atau tarekat.
Abd
al-Shamad al-Palimbani adalah salah seorang ulama sufi yang terkenal di
Sumatera, seorang pelopor tarekat al-Sammaniyah
di Indonesia.
Tarekat
al-Sammaniyah adalah termasuk salah satu tarekat Muktabarah di Indonesia, yang
dipercayai menganut paham tasawuf Sunni, yang diajarkan oleh Imam Ghazali dan
sufi-sufi moderat lainnya. Melalui
Tarekat al-Sammaniyah ini beliau banyak
mempunyai murid yang tersebar di daerah-daerah lain di Nusantara ini. Dengan ajaran Ratib Samman yang
dikembangkan oleh Abd. al-Shamad al-Palimbani
mengandung pendekatan ritual
vertical kepada Allah, tetapi juga mempunyai pengaruh horizontal dalam
memerangi kekufuran dan ketidak adilan oleh kaum kolonial ketika itu.
Riwayat
Hidup al-Palimbani dan Karyanya Nama lengkap
adalah Abd. al-Shamad bin Syekh
Abd. Jalil bin Syekh Abd. Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani, dilahirkan di
Palembang 1116 H 1704 M. Ayahnya berasal dari keturunan Arab Yaman, sebagai guru agama di Palembang, kemudian ke
Kedah dan diangkat menjadi mufti. Setelah pulang ke Palembang Syekh Abd. Jalil kawin dengan Raden Ranti,
dari perkawinan ini melahirkan Abd. Shamad.
(M. Laily Mansur, 2002: 277) Sebelumnya Syekh Abd. Jalil memperistri Wan
Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa di Kedah. ( Tim Redaksi Ensiklopedi
Islam, 1997: 78).
Al-Palimbani
awalnya belajar di desa tempat kelahirannya. (M. Laily Mansur, 2002: 277) Dan meneruskan belajar
di Kedah dan Petani di sebuah pondok lembaga pendidikan tradisional
Islam setempat, kemudian ayahnya mengirimnya belajar ke Arabia. ( Azyumardi
Azra, 2004:307).
Kegiatan
terpenting yang dilakukan al-Palimbani dalam upayanya menyebarkan ajaran Islam
dan meningkatkan pengetahuan keagamaan
masyarakat ialah membuat karya tulis yang meliputi masalah tauhid dan tasawuf.
Seluruh karya tulisnya ditulis di Hijjaz, Makkah dan Taif antara tahun
1764-1788. Karya tulisnya dibidang tauhid antara lain ialah Zuhrah al-Murid fi
Bayan at-Tauhid, karya tulis yang
berbahasa melayu berisi tentang kalimat tauhid.
Kalau
kita pelajari dari karya tulis al-Palimbani terutama dua buah kitab terakhir tersebut di atas, maka akan tampak
bahwa al- Palimbani berusaha untuk menampilkan ajaran-ajaran baru dalam tasawuf
dengan menghimpun ajaran al-Ghazali di satu pihak dan ajaran Ibnu Arabi di lain
pihak. Namun karena al-Ittihad,
DAFTAR PUSTAKA
Anshary AZ, Hafiz, (2002), Peranan Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari di
Dalam Pengembangan
Islam di Kalimantan Selatan, dalam
Majalah
Khazanah,
Vol.1 No.1 Januari-Februari 2002,
Banjaramasin, IAIN Antasari.
Azra, Azyumardi,
(2004), Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan
Nusantara Abad
XVII & XVIII, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Bodiono, (2005),
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Karya Agung.
Daudi, Abu,
(1966), Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar), Martapura :
Madrasah Sullamul ‘Ulum Dalam Pagar.
Tim Redaksi
Ensiklopedi Islam,(1997) , Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Mansur, Laily,(2002)
Ajaran dan Teladan Para Sufi,
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Marwan, Muhammad,
(1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani
Ratib, Tawasul dan
Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel.: TB. Sahabat.
Maulana, Achmad
dkk, (2004), Kamus Ilmiyah Populer Lengkap Dengan EYD
dan Pembentukan
Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia Yogyakarta : Absolut.
Dr. Rosihun Anwar, M.Ag. AKHLAK TASWUF.
CV.Pustaka Setia. Bandung. 2009
M. Khatib Quzwain,
Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad
Al-Palimbani. Jakarta: Pustaka Bulan Bintang,t t
Nurcholish Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Paramadina, 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar